Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Aparat Dimnta tak ragu Terapkan Hukuman Maksimal pada Pelaku Kekerasan Seksual, Termasuk Kebiri Kimia 

Mohammad Farham Zhuhri
28/12/2021 19:30
Aparat Dimnta tak ragu Terapkan Hukuman Maksimal pada Pelaku Kekerasan Seksual, Termasuk Kebiri Kimia 
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak(Ilustrasi)

TINGGINYA kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan korban lebih satu orang menuntut ketegasan Aparat Penegak Hukum untuk menjatuhkan hukuman maksimal kepada pelakunya. 

Hukum telah menjamin tindakan sanksi maksimal terhadap pelaku kekerasan seksual anak yang tertuang dalam UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 

Berdasarkan pasal 81 ayat 5 UU tersebut, disebutkan bahwa pelaku kekerasan terhadap anak dapat diterapkan hukuman maksimal pidana mati, seumur hidup, dan penjara antara 10 sampai dengan 20 tahun penjara, jika korbannya lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia. 

Selanjutnya, dalam pasal 81 ayat 7, pelaku dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. 

“Peraturan ini adalah bentuk nyata dari komitmen Pemerintah tentang tidak adanya toleransi terhadap segala bentuk kekerasan terhadap anak. Harapannya peraturan ini tidak hanya menjadi pelengkap regulasi, namun diimplementasikan secara nyata oleh semua pihak, khususnya Aparat Penegak Hukum agar memberikan efek jera pada pelaku,” tegas Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga, dalam keterangan resmi, Selasa (28/12). 

Bintang menganggap perlu upaya lebih luas sosialisasi dan implementasi UU 17 Tahun 2016 mengingat belakangan ini kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan jumlah korban lebih dari satu orang banyak terjadi di masyarakat.   

Baca juga : Mayoritas Kekerasan Seksual Dilakukan Guru, Kasus Terbanyak di 'Boarding School'

Beberapa kasus yang mencuat di masyarakat diantaranya kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru mengaji terhadap 25 santri di Jombang, kasus 13 santriwati yang mengalami kekerasan seksual oleh Pemilik Pesantren di Kota Bandung, kasus pelecehan seksual oleh calon pendeta kepada 21 anak di Kota Batam, pencabulan 6 orang anak oleh ustaz di sebuah pesantren di Kabupaten Bintan, hingga kasus terakhir, yakni pencabulan terhadap 10 orang anak berusia 10-15 tahun yang dilakukan oleh guru ngaji di Depok, Jawa Barat. 

“Kami mendorong Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah untuk terus bersinergi dengan kami, bersama-sama memberikan perlindungan yang terbaik bagi anak karena itu sesuai dengan kewenangan Kementerian PPPA dalam Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2019, jangan ragu untuk menerapkan UU No 17 tahun 2016. Kami akan selalu membantu pemerintah daerah dalam menyelenggarakan perlindungan anak, memastikan mereka benar-benar bisa hidup aman di Indonesia,” tegas Bintang. 

Kasus kekerasan yang banyak terjadi tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi banyak juga yang dilakukan pelakunya adalah anak. 

Kasus terakhir dengan pelaku anak yaitu kasus pencabulan yang dilakukan seorang pelajar SMP yang mencabuli 9 anak di wilayah Jakarta Barat, kasus pornografi di Buleleng yang melibatkan 1 orang korban dan 6 orang pelaku yang semunya berusia anak, kasus penganiayaan dan kekerasan seksual di Malang yang melibatkan 1 korban dan 8 pelaku berusia anak.   

Dalam kasus-kasus itu, Bintang mengingatkan untuk menerapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dengan sebaik-baiknya. 

“Kemen-PPPA terus memantau dan memastikan penyelenggaraan perlindungan anak di Daerah melalui koordinasi dengan Dinas yang Menyelenggarakan Urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jika Pemerintah Daerah menemukan kendala, Kemen PPPA siap untuk menurunkan tim untuk membantu,”  pungkas Bintang. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya