Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Kodifikasi UU Pemilu dan Pilkada Diperlukan

Tri Subarkah
28/5/2024 18:30
Kodifikasi UU Pemilu dan Pilkada Diperlukan
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin sidang pembacaan putusan uji materiil UU Pemilu di Jakarta, Rabu (31/1/2024)(MI/Adam Dwi)

WACANA mengodifikasi Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dinilai mendesak. Wacana yang sudah bergulir sejak 2017 itu perlu direalisasi untuk menghindari terjadinya kebingungan penyelenggara pemilihan akibat tumpang tindihnya aturan.

Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menjelaskan, upaya pengodifikasian regulasi soal pemilu dan pilkada sudah bergulir sejak 2017 saat pembentuk undang-undang merumuskan UU Pemilu. Menurutnya, kodifikasi kedua UU tersebut penting dilakukan karena memiliki variabel yang sama.

"Menurut saya penting UU Pemilu dan UU Pilkada untuk disatukan karena pada prinsipnya variabelnya sama, yaitu pemilih, peserta, penyelenggara," kata Khoirunnisa kepada Media Indonesia, Selasa (28/5).

Baca juga : Bawaslu Nilai UU Pemilu tak Didesain untuk Kampanye Pemilu 2024

Ia juga mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) sudah tidak lagi membedakan antara rezim pemilu dan rezim pilkada. Dengan kodifikasi kedua undang-undang tersebut, diharapkan tumpang tindih aturan tidak terjadi lagi sehingga membingungkan seluruh pihak yang terlibat dalam pemilu atau pilkada.

Khoirunnisa mencontohkan, tumpang tindih aturan itu terasa dalam permasalahan politik uang. Pada UU Pilkada, sambungnya, pihak yang memberi dan menerima politik uang sama-sama dapat dipidana. Namun, hal berbeda justru terumus dalam UU Pemilu yang hanya dapat menyanksi pihak pemberi.

Hal senada juga disampaikan Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja. Meski sebagai penyelenggara pemilu Bawaslu dalam posisi pelaksana UU, Bagja berharap agar ke depan kodifikasi lewat perbaikan regulasi dapat menciptakan kepastian hukum. Selama ini, ia juga menyoroti adanya tumpang tindih maupun kontradiksi norma antara UU Pemilu dan Pilkada.

"Misalnya soal kampanye, ada perbedaan definisi dalam UU Pilkada dan Pemilu. UU Pilkada tidak menjelaskan siapa subjek yang melakukan kampanye dan juga tidak memuat objek citra diri," terang Bagja.

Perbedaan lain terkait kampanye antara UU Pemilu dan Pilkada yang akhirnya membuat rancu adalah larangan kampanye di tempat pendidikan sebagaimana Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023, pelaksana kampanye, metode kampanye, dan larangan kampanye berkaitan dengan penggunaan fasilitas jabatan. (Tri/Z-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya