Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
MENYAMBUT Peringatan Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) 2024, Komnas Perempuan melakukan peluncuran Catatan Tahunan (Catahu) yang merekam data kekerasan terhadap perempuan selama 2023. Catahu 2023 mencatat jumlah kekerasan terhadap perempuan pada 2023 sebanyak 289.111 kasus atau mengalami penurunan 55.920 kasus atau sekitar 12% dibandingkan 2022. Kendati demikian Komnas Perempuan meyakini kasus yang tidak dilaporkan bisa jadi angkanya lebih besar.
Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin menuturkan, merujuk pada fenomena gunung es, data kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut merupakan data kasus yang dilaporkan oleh korban, pendamping, maupun keluarga. Sementara itu, kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak dilaporkan bisa jadi lebih besar.
“Di balik angka tersebut, kita juga mengenali pengalaman korban untuk mendapatkan perlindungan dan pemulihan yang masih jauh dari harapan, walau berbagai kebijakan untuk melindungi perempuan dari berbagai tindak pidana telah tersedia,” ungkap Mariana di Jakarta, Kamis (7/3).
Baca juga : Norma Hukum masih Kesulitan Proses Kekerasan Berbasis Gender Online
Catahu 2023 juga mencatat karakteristik korban dan pelaku masih menunjukkan tren yang sama, yaitu korban lebih muda dan lebih rendah pendidikannya daripada pelaku. Selama tiga tahun terakhir, jumlah pelaku sebagai pihak yang seharusnya menjadi panutan, pelindung, dan simbol kehadiran negara naik 9%. Angka itu melampaui rata-rata Catahu 21 tahun sebesar 5%.
Hal itu, kata Mariana, meneguhkan akar masalah kekerasan terhadap perempuan bersumber dari ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Sumber kuasa pelaku semakin kuat ketika pelaku memiliki kekuasaan politik, pengetahuan, jabatan struktural, dan tokoh keagamaan.
Kekerasan terhadap perempuan di ranah personal masih menempati pengaduan yang dominan dari keseluruhan sumber data. Kontribusi tingginya kekerasan di ranah personal disumbang melalui data yang dihimpun Badan Peradilan Agama (Badilag), mengingat terkait dengan perkara dalam relasi perkawinan dan keluarga.
Baca juga : Kejahatan Femisida Meningkat, Kehadiran RUU PKS dan KUHP Mendesak
Catahu 2023 juga mencatat kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan negara mengalami peningkatan, yaitu pada ranah publik meningkat 44% dan di ranah negara terjadi peningkatan 176%.
Kekerasan terhadap perempuan ranah negara meliputi kasus-kasus perempuan berkonfik dengan hukum, kekerasan terhadap perempuan oleh anggota Polri/TNI, kekerasan terhadap perempuan pembela HAM, kekerasan terhadap perempuan di dunia politik, pemilihan pejabat publik. Kemudian penggusuran paksa, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia berbasis gender, kebijakan diskriminatif, kebebasan beribadah dan beragama, pengungsian, dan kekerasan terhadap perempuan dalam administrasi kependudukan.
Catahu 2023 juga mencatat kasus-kasus pelecehan seksual non-fisik dan fisik semakin banyak dilaporkan dibandingkan perkosaan. “Hal ini menunjukkan bahwa pelecehan seksual sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual semakin dikenali, adanya jaminan hukum pelecehan seksual baik non fisik maupun fisik dan dukungan terhadap korban,” kata Mariana.
Baca juga : Darurat KDRT, Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan Disorot
“Namun, peningkatan pemahaman korban terhadap bentuk dan jenis pelecehan seksual tidak serta merta diikuti dengan pemahaman APH (aparat penegak hukum) terhadap bentuk dan jenis kekerasan seksual secara komprehensif,” jelasnya.
Sementara itu, menjelang dua tahun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) tercatat menduduki posisi tertinggi diikuti dengan pelecehan seksual fisik, kekerasan seksual lain, dan perkosaan di ranah personal. Hal itu berbeda dari tahun 2022 ketika KSBE menduduki posisi ketiga.
“Sejak covid-19, kekerasan seksual yang difasilitasi oleh teknologi paling tinggi dilaporkan terjadi pada anak muda yang dilakukan oleh pacar dan mantan pacar. Tren ini juga menunjukkan kemendesakan infrastruktur penanganan kekerasan siber dalam berbagai bentuknya, memperkuat perlindungan hukum dan perangkatnya yang lebih melindungi korban, juga mengisi kekosongan gap jaminan antara UU TPKS, UU ITE, KUHP dan UU Perlindungan Data Pribadi,” ungkap Mariana.
Baca juga : UU ITE belum Mampu Melindungi Perempuan dari Eksploitasi Kekerasan
Berdasarkan Catahu Komnas Perempuan 2023, Komnas Perempuan menyampaikan sejumlah rekomendasi. Pertama untuk DPR RI agar segera menetapkan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) untuk membahas RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). “Agar RUU ini tidak kembali ke titik nol tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan,” kata Mariana.
DPR juga diminta menyelesaikan tahap penyusunan dan pemantapan RUU Masyarakat Hukum Adat untuk selanjutnya ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR RI dan segera meratifikasi Konvensi Pelindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Rekomendasi lain adalah memastikan kepemimpinan perempuan di semua lembaga/jabatan publik yang dipilih oleh DPR RI.
Untuk Presiden RI, Komnas Perempuan mendorong Kepala Negara menandatangani dan mengesahkan 6 peraturan pelaksana UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebelum 9 Mei 2024 sebagaimana batas waktu yang dimandatkan.
Baca juga : Kenali Femisida, Kekerasan Paling Ekstrem terhadap Perempuan
Selain itu, Presiden diminta memastikan Proyek Strategis Nasional (PSN) dilaksanakan dengan tetap menghormati dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk perlindungan terhadap kelompok rentan. Kemudian, memastikan pengarusutamaan gender (akses, partisipasi, kontrol, manfaat) perempuan dilakukan dalam setiap kebijakan dan program/kegiatan kementerian/lembaga dari pusat sampai daerah.
“Komnas Perempuan juga menyampaikan rekomendasi terhadap kementerian dan lembaga terkait, Mahkamah Agung, Kepolisian Republik Indonesia, Panglima TNI, Lembaga Donor dan Kelompok Bisnis serta Media dan Masyarakat. Komnas Perempuan berharap agar seluruh rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan dalam Catahu menjadi perhatian dan ada upaya langkah tindak lanjut untuk pencegahan, penanganan, perlindungan dan pemulihan kekerasan terhadap perempuan,” pungkas Mariana. (H-1)
Komnas Perempuan menilai putusan bebas terdakwa Gregorius Ronald Tannur menjadi catatan buruk penegakan hukum kasus kekerasan terhadap perempuan.
Koordinasi penanganan kekerasan seksual tak hanya bisa mengandalkan lembaga negara yudisial.
APARAT penegak hukum (APH) yang memiliki perspektif gender dan sensitivitas terhadap korban, sangat dibutuhkan untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak
MENINDAKLANJUTI putusan dari DKPP, Komnas Perempuan meminta agar ada perbaikan serta penguatan dari sistem Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di pelaksanaan pemilu.
DKPP menyoroti secara khusus isu relasi kuasa yang digunakan Hasyim Asy'ari selaku Ketua KPU dalam rangka mendekati perempuan anggota PPLN Den Haag, Belanda, berisinial CAT.
Komnas Perempuan menanggapi pemecatan Ketua KPU Hasyim Asy'ari terkait kasus asusila. Pihaknya menghormati dan mengapresiasi putusan DKPP untuk memecat Hasyim.
RUU PPRT didesak untuk disahkan sebagai wujud komitmen pemerintah dan DPR dalam melindungi pekerja rumah tangga dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Momentum Hari Anak Nasional juga diharapkan dapat melahirkan aksi-aksi nyata yang berkelanjutan dalam melindungi anak di dunia digital.
Kementerian PPPA dan Kemenkum dan HAM hampir merampungkan penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tentang (Raperpres) Peta Jalan Perlindungan Anak dalam Ranah Daring.
MELIHAT maraknya pornografi anak di ranah daring, pemerintah akan membentuk satuan tugas untuk menangani permasalahan pornografi anak.
KEMENTERIAN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengungkapkan bahwa setiap tahunnya, anak perempuan paling sering menjadi korban kekerasan
Menteri PPPA Bintang Puspayoga mengatakan kekerasan seksual seperti fenomena gunung es. Secara angka yang tercatat tampak menurun tapi fakta bisa berbeda
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved