Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Dekan FKUI: Harus Ada Hukuman Berat Bagi Predator Anak

Ferdian Ananda Majni
05/1/2021 08:05
Dekan FKUI: Harus Ada Hukuman Berat Bagi Predator Anak
Dekan FKUI Prof. Dr. dr. H. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP(Dok Universitas Indonesia)

Presiden Jokowi resmi menandatangani peraturan teknis pelaksanaan hukuman kebiri kepada para terpidana pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Menanggapi hal itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Ari Fahrial Syam menyampaikan bahwa tindakan itu sudah tepat diberikan kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

"Seharusnya hukuman dari dulu sudah ada. Jadi memang harus ada hukuman yang berat kepada predator seksual, harus ada law enforcement dan efek jera bagi mereka pelaku predator seksual ini," kata Prof Ari kepada Media Indonesia, Senin (4/1).

Baca juga: Kembangkan 3 Platform Vaksin Covid-19, UI: Jenis DNA Paling Maju

Dirinya juga tak memungkiri ada kelainan jiwa pada pelaku seksual terhadap anak. Apalagi tak ada jaminan pelaku kejahatan seksual ini bisa berubah setelah menjalani masa tahanan, sehingga hukuman kebiri kimia bisa jadi solusi untuk mengatasi kejahatannya.

"Ini sudah pasti efektif, orang akan berpikir dua kali untuk melakukan hal tersebut ( kejahatan seksual) paling tidak bagi yang bersangkutan (pelaku) dia sudah selesai, dan tidak mungkin lagi melakukan kejahatannya (sudah kebiri)," sebutnya.

Meskipun fisik pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang sudah dikebiri masih normal namun setidaknya dia tidak bisa lagi mengulangi kejahatan yang bisa mengakibatkan trauma berlebihan pada anak dengan tindakan seksual.

Terkait IDI pernah menolak upaya kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Prof Ari menjelaskan prinsipnya harus didiskusikan bagaimana mekanisme kebiri yang dilakukan tersebut.

"Sebenarnya IDI itu yang dipertanyakan adalah prinsip IDI terikat terhadap sumpah bahwa tidak boleh merusak fungsi organ seseorang. Kita juga tidak mengenal istilah Euthanasia aktif atau misalnya orang yang memang kondisi dan kualitas hidupnya sudah tidak bagus. Nah kita tidak boleh menyuntikkan obat yang menjadikan dia meninggal," ujarnya.

Prof Ari menyamakan hukuman kebiri kimia itu dengan hukuman mati dengan tembakan. Sehingga memang harus ada eksekutor Namun dalam praktiknya nanti bisa saja dilakukan oleh dokter polri.

"Inikan sama hal ketika tembak mati, yang nembak juga polisi. Kan sama? jadi bukan IDI secara ikatannya tetapi bisa siapa saja yang ditunjuk secara UU untuk melakukan hal tersebut tergantung jenis hukuman kebiri," jelasnya.

Oleh karena itu, Prof menyampaikan bahwa apabila perintah UU tentunya siapa pun yang ditunjuk maka mereka tidak bisa menolak.

"Kita tidak bicara soal wacana pro kontra, yang kita bicarakan adalah ini adalah perintah negara kepada seseorang yang kebetulan mungkin dokter untuk melakukan eksekusi," lanjutnya.

Prof Ari juga menambahkan bahwa beberapa negara juga ada yang telah menerapkan hukuman serupa. Namun, setiap negara memiliki budaya yang berbeda tetapi paling tidak hukuman ini bisa menjadi efek jera atas perilaku kejahatannya,

"Paling jelas bagi yang bersangkutan tidak bisa melakukan Harassment atau kekerasan sesuai lagi karena sudah dikebiri. Kemudian informasi ini membuat orang jadi berpikir 2 kali," tandasnya.

Prof Ari menegaskan dalam pelaksanaan tentunya berdasarkan perintah negara misalnya polisi yang ditunjuk untuk eksekusi tembak maka negara yang akan bertanggungjawab.

"Misalnya ada rahasia pasien tidak kita bongkar tetapi untuk kepentingan pengadilan maka rahasia pasien kita buka. Jadi ada istilah pengecualian untuk hal-hal tertentu. Karena adanya kepentingan pengadilan maka bisa disampaikan," pungkasnya. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : HUMANIORA
Berita Lainnya