Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
BADAN Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menilai terjadinya fenomena hujan lebat selama beberapa hari pada musim kemarau di wilayah Indonesia bagian barat khususnya Jabodetabek, merupakan fenomena yang lumrah karena penggerak iklim dan cuaca di Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menjelaskan faktor-faktor penggerak iklim dan cuaca di Indonesia dipengaruhi oleh pengaruh geografis dan fenomena alam seperti La Nina, El Nino, IOD, Madden Julian Oscillation (MJO), Gelombang Kelvin dan Rossby Equatorial. Hal-hal itu sering kali mengganggu waktu musim hujan dan kemarau menjadi lebih singkat atau lebih panjang, bahkan terjadi guyuran hujan lebat di tengah musim kemarau.
“Jika fenomena La Nina dan El Nino serta IOD itu mengganggu waktu terjadi musim hujan dan panas dalam beberapa bulan, misalnya hujan atau kemarau menjadi lebih lama hingga berbulan-bulan, sedangkan MJO akan mempengaruhi cuaca dan Iklim jauh lebih singkat dalam skala waktu harian,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (8/7).
Baca juga : BMKG: Indonesia Masuki Musim Kemarau Mei Mendatang
Lebih lanjut, Dwikora mengatakan peningkatan pembentukan awan-awan hujan yang bergerak di sepanjang khatulistiwa mulai dari Samudra Hindia di sebelah timur Afrika di khatulistiwa menuju Samudra Pasifik merupakan siklus yang akan berulang setiap 40 hingga 60 hari.
“Jadi nanti dalam beberapa bulan ke depan, musim kemarau itu akan disisipi hujan lebat namun tidak lebih dari tiga hari. Bahkan, dalam sepekan ke depan, masih terdapat potensi peningkatan curah hujan secara signifikan di tengah musim kemarau pada sejumlah wilayah Indonesia,” jelasnya.
Fenomena-fenomena alam tersebut, katanya, terjadi karena adanya dinamika atmosfer skala regional-global yang cukup signifikan. Selain itu, suhu permukaan laut yang hangat pada perairan wilayah sekitar Indonesia pun memberikan kontribusi. Awan hujan pun tumbuh signifikan di wilayah Indonesia.
Baca juga : BMKG: Jabodetabek akan Dilanda Hujan Deras dan Cuaca Ekstrem hingga 10 Januari
Dwikora kembali menyebutkan, fenomena itu terjadi sebagian besar wilayah Indonesia khususnya wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sebagian Sumatera.
“Namun pada bulan Agustus dan September akan terjadi La Nina yang dipengaruhi oleh suhu muka air laut Samudra Pasifik. Sehingga lanjutnya, pada saat musim kemarau akan mengalami peningkatan curah hujan,” tuturnya.
Selain faktor fenomena alam, ada pula faktor lain yang mempengaruhi pergeseran iklim dan cuaca du Indonesia yakni letak geografis. Indonesia yang berada diantara benua Asia dan Australia serta berada di pertemuan dua samudra besar yakni Samudra dan Atlantik, ditambah faktor berada di garis ekuator (khatulistiwa), membuat waktu musim kemarau dan hujan seringkali terganggu.
Baca juga : Waspada! Curah Hujan di Jabodetabek Meningkat dan Banjir Rob di Pesisir Utara Jakarta
“Musim kemarau adalah periode ketika curah hujan di suatu tempat berkapasitas kurang dari 50 mm per 10 hari dan terjadi minimal sepanjang 3 hari yang berturut-turut. Secara umum, musim kemarau di Indonesia berkaitan dengan aktifnya monsoon Australia,” jelasnya.
Dwikorita menambahkan bahwa musim kemarau terjadi karena ada pergerakan angin dari gurun Australia yang sifatnya kering (monsoon australia), sehingga mengakibatkan curah hujan yang rendah. Hal ini juga diperburuk oleh gerak semu matahari yang menjauhi khatulistiwa sehingga pembentukan awan-awan hujan akan berkurang atau yang disebut.
“Musim kemarau di Indonesia tidak terjadi secara bersamaan, tapi berlangsung dengan durasi yang berbeda-beda. Ada yang musim kemarau dimulai dari bulan Mei namun sebagian besar masuk kemarau di bulan Juni bahkan puncaknya Juli dan Agustus,” tuturnya.
Baca juga : Pemprov DKI Antisipasi Banjir Kiriman Hingga Hujan Lokal
Sementara untuk musim penghujan, lanjut Dwikora, Indonesia memiliki setidaknya tiga pola hujan yaitu pertama tipe monsun yang diakibatkan oleh angin monsun dasi Asia, tipe ini dikatakan memiliki karakteristik curah hujan perbedaan yang sangat kontras antara musim kemarau dan musim penghujan.
“Tipe ini biasa ditemukan di wilayah kepulauan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara serta sebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan. Jadi pada musim kemarau masih ada hujan namun curah hujannya sangat rendah kurang dari 50 mm dalam 10 hari atau 300 mm dalam sebulan,” jelasnya.
Selain itu, ada pula tipe hujan ekuatorial yang terjadi di sebagian besar Pulau Sumatera, sebagian Kalimantan, hampir keseluruhan pulau Sulawesi dan sebagian besar Papua. Hujan dengan tipe ekuatorial, baik di musim kemarau dan hujan, wilayah akan terus diguyur hujan sepanjang tahun.
“Hampir tidak ada musim kemarau artinya jika ada musim kemarau, curah tetap ada dan kejadian hujan di atas rata-rata. Jadi selalu hujan terus-menerus sehingga saat ini meskipun sebagian besar wilayah Indonesia memasuki kemarau tapi zona ini akan tetap hujan sepanjang tahun,” tuturnya.
Sementara tipe hujan terakhir disebut tipe lokal yang terjadi di wilayah sebagian kecil Papua serta Maluku. Tipe ini dipengaruhi oleh faktor topografi sehingga pembentukan awan-awan hujan terjadi secara lokal sehingga fenomena hujan dan kemarau akan terlihat sangat berbeda dan mencolok dari wilayah lainnya.
“Tipe ini bisa berbeda dan mencolok, jika di tempat lain kemarau, wilayah yang berada di tipe hujan lokal ini bisa saja hujan lebat sendiri, ataupun sebaliknya. Tapi sebagian besar pola hujan di Indonesia adalah tipe monsun yang dapat musim hujan dan musim kemarau seperti saat ini,” jelas Dwikora.
Setelah menjelaskan faktor-faktor tersebut, dapat diketahui bahwa cuaca dan iklim yang bergerak di wilayah kepulauan Indonesia iklim dipengaruhi oleh Monsoon angin dari benua Asia dan Australia secara bergantian secara umum serta adanya dua samudra besar yang mengontrol.
(Z-9)
Musim kemarau yang panas tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada perangkat elektronik, terutama ponsel.
Hasil pendataan wilayah rawan potensi kekeringan menurut Mikron adalah Pangkalpinang, Kelurahan Bukit Merapin, Kelurahan Sriwijaya, Kelurahan Bukit Besar, Bukit Baru, Kelurahan Temberan.
Pembuatan sekat bakar penting dilakukan guna meminimalisir terjadinya kebakaran. Dengan adanya sekat bakar, saat terjadi kebakaran api tidak akan menjalar ke areal yang lebih luas.
Pengamatan cuaca pukul 05.30 WIB melihat adanya perubahan cuaca Rabu (31/7) ini, yakni potensi hujan ringan hingga sedang terjadi di sebagian besar daerah daerah di kawasan pegunungan
Dia menambahkan sumber air bersih mulai berkurang dan muncul tenggelam. Warga juga harus berbagi air bersih dari mata air dengan warga dari desa lain, yakni Desa Cipelang.
ribuan hektare sawah yang terancam kekeringan tersebar hampir seluruh wilayah. Namun paling rawan berada di 49 desa dari 6 kecamatan meliputi Sindangkerta, Saguling, Cipongkor, Cipatat
Pindah ke Pulau Jawa, di wilayah Yogyakarta diprakirakan akan berawan. Sedangkan untuk wilayah Serang, Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya berpotensi hujan ringan.
STASIUN Meteorologi Maritim Belawan, Sumatra Utara (Sumut), menyebutkan gelombang setinggi 2,0 meter hingga 2,5 meter diprakirakan berpeluang terjadi perairan Sumatra.
Suhu udara umumnya berkisar antara 16 hingga 35 derajat Celcius dan kelembaban berkisar antara 47% hingga 99%.
Dalam tiga hari ke depan, mulai Rabu (31/7), tinggi gelombang laut terutama di perairan selatan Bali berpotensi mencapai 3 meter.
BMKG juga mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap potensi kebakaran hutan dan lahan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved