Mitigasi setelah Gencatan Senjata

26/6/2025 05:00

GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik. Namun, bisa jadi pula itu hanya badai yang mereda sebelum mengamuk lagi. Watak Israel yang sering melanggar kesepakatan apa pun bisa membuat perjanjian yang dijembatani oleh Amerika Serikat dan Qatar itu ibarat hanya terikat benang tipis. Jika Israel kembali menyerang Iran, perang jelas akan tereskalasi dengan cepat.

Iran yang memiliki 3.000 rudal balistik sangat mungkin akan membalas lebih keras jika dibandingkan dengan sebelumnya. Tambahan lagi, jika Amerika Serikat sebagai sekutu utama Israel ikut menggempur kembali Iran, itu sama saja dengan memprovokasi Rusia untuk turut serta. Juru bicara Kremlin menyatakan bahwa negara itu siap membantu apa pun yang dibutuhkan Teheran.

Indonesia, meski jauh dari pusat konflik, sama sekali tidak bisa merasa aman. Tanpa pecah perang dunia III pun, jika perang kemudian mendorong Teheran menutup Selat Hormuz, kita akan terimbas pada krisis energi. Selama diserang oleh Israel dan AS pada minggu lalu, Iran telah mengancam akan menutup selat yang menjadi satu-satunya akses tanker dari dan ke Teluk Persia, tempat negara-negara penyuplai minyak dunia.

Tidak seperti AS, Rusia, Tiongkok, dan bahkan Brasil yang merupakan konsumen utama sekaligus produsen minyak dunia, Indonesia sangat bergantung pada impor. Bahkan, Indonesia yang berada di peringkat ke-13 konsumen minyak dunia sejak 2023 menjadi net importer.

Karena itu, suka tidak suka, strategi jangka pendek atau jangka panjang atas risiko konflik Iran-Israel itu mesti segera dirampungkan demi kestabilan energi. Dalam jangka pendek, pemerintah harus taktis menguatkan cadangan devisa yang merupakan sumber untuk belanja minyak.

Itu amat krusial untuk mengantisipasi melonjaknya harga minyak. Per akhir April lalu, cadangan devisa kita sudah susut sebesar Rp75,8 triliun akibat pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Dalam tiga mitigasi utama perang Iran-Israel yang disebutkan Kementerian Keuangan pada minggu lalu, penguatan cadangan devisa dan stabilisasi mata uang nasional memang masuk di dalamnya. Kini yang menentukan ialah langkah detail yang diambil pemerintah untuk mencapainya.

Cara-cara business as usual seperti peningkatan diversifikasi ekspor dan peningkatan investasi asing, meski harus didorong, tetap tidak cukup. Pemerintah harus lebih menggenjot langkah-langkah yang memungkinkan. Salah satu yang terpenting ialah penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan luar negeri kita.

Di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia melalui Bank Indonesia telah berhasil menjalin MoU dengan Bank Rakyat Tiongkok (PBOC) untuk penggunaan rupiah dalam transaksi bilateral. Kesuksesan seperti itu harus lebih banyak dibuat pemerintah.

Sementara itu, dalam strategi jangka panjang untuk stabilitas energi, diversifikasi energi tidak bisa lagi sekadar basa-basi. Pemerintah harus memberikan dukungan besar untuk sektor manufaktur dalam negeri yang menjadi tulang punggung ketahanan energi. Bukan lagi sekadar memproduksi komponen energi terbarukan, melainkan juga serius menyokong sektor manufaktur untuk memproduksi perangkat pendukung ketahanan energi nasional seperti mesin pembangkit dan infrastruktur energi lainnya.

Pengembangan energi baru terbarukan yang selama ini sudah digaungkan harus benar-benar diwujudkan. Tanpa itu, tidak perlu perang dunia III pun, negara ini sebenarnya sudah rentan krisis energi.

 

 



Berita Lainnya