Jangan Lengah Hadapi Covid-19

05/6/2025 05:00

DALAM semua kondisi ancaman bahaya, kepanikan dan kelengahan sama buruknya. Keduanya sama-sama membuahkan petaka karena membuat kita tak mampu mengambil langkah tepat. Dalam soal menghadapi covid-19, misalnya, harus diakui bahwa kita cenderung lengah. Runtutan kejadian pada Februari hingga April 2020 menunjukkan pemerintah pada kala itu kebobolan dalam mendeteksi secara cepat penyakit yang disebabkan oleh virus korona itu.

Sejak muncul pertama kali di Wuhan, Tiongkok, pada Desember 2019, dan menyebar secara global pada Januari 2020, covid-19 resmi dinyatakan pemerintah terdeteksi di Indonesia pada 2 Maret 2020. Dari penelusuran lebih lanjut, barulah terungkap bahwa penularan kepada dua WNI pasien pertama covid-19 ialah dari WNA Jepang yang masuk Indonesia pada awal 2020.

Bahkan, bisa jadi pula covid-19 masuk Indonesia lebih awal lagi, tapi tidak terdeteksi. Itu disebabkan dalam jangka waktu sebulan dari ditemukannya pasien pertama itu, jumlah kasus covid-19 sudah lebih dari 3.500 orang.

Meski kemudian pemerintah pusat dan daerah segera melakukan langkah-langkah penanggulangan, daerah persebaran sudah sangat luas. Kini, lima tahun berlalu, covid-19 belum hilang dari muka bumi. Ancaman kegawatannya pun berulang kali muncul kembali seiring dengan timbulnya varian-varian baru.

Beberapa minggu ini, peningkatan tajam kasus kembali terjadi di Tiongkok akibat varian NB 1.8.1 yang merupakan turunan dari omikron JN1. Organisasi kesehatan dunia, WHO, menyebutkan NB 1.8.1 menyumbang sebesar 10,7% kasud covid-19 global atau naik dari 2,5% jika dibandingkan dengan sebulan sebelumnya. Meski lonjakan tertinggi terjadi di Tiongkok, penderitanya terdeteksi pada pelancong Prancis, Jepang, Belanda, Spanyol, Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand.

Lonjakan tersebut, meski bukan kali pertama setelah badai covid-19 pertama, jelas harus diwaspadai. Dampak pandemi yang panjang, bahkan masih terasa hingga kini, harus menjadi pelajaran mahal. Terlebih dengan perang berkepanjangan di sejumlah kawasan dan aturan tarif impor Amerika Serikat, setiap negara harus membentengi diri dari hantaman-hantaman baru, termasuk berulangnya petaka covid-19.

Sejauh ini Kemenkes memang telah cukup antisipatif. Kemenkes sudah mengeluarkan Surat Edaran tentang Kewaspadaan terhadap Peningkatan Kasus Covid-19 pada 23 Mei 2025. Pada Selasa (3/6), Menkes Budi Gunadi Sadikin melapor ke Presiden Prabowo Subianto bahwa pada periode 25 hingga 31 Mei, ada tujuh kasus ditemukan dengan tingkat positivity rate masih sebesar 2,05%. Itu artinya masih di bawah positivity rate tertinggi sejauh ini pada 2025, yakni 3,62%.

Jika berkaca pada itu, imbauan Menkes agar masyarakat tidak panik memang tidak salah. Kita pun memaklumi bahwa imbauan tidak panik sudah menjadi bahasa formalitas pejabat.

Di sisi lain, kita juga sangat menyadari budaya disiplin masyarakat Indonesia yang memang rendah. Sebab itu, ketimbang imbauan tidak panik yang tidak akan banyak berdampak, pemerintah lebih baik terus menyosialisasikan kedisiplinan masyarakat untuk menjaga kebersihan dan kesehatan. Cara sederhana, seperti mengenakan masker saat mengalami batuk dan rutin mencuci tangan, harus terus digalakkan sebagai kewaspadaan minimal.

Sementara itu, meski positivity rate masih relatif rendah, pemerintah harus terus memastikan kesiapan layanan kesehatan dan tenaga kesehatan untuk menghadapi lonjakan kasus. Kita benar-benar harus belajar dari badai covid-19 pertama tentang langkah-langkah paling penting untuk mencegah penularan luas atau tingkat kegawatan.

Pemerintah pusat dan daerah sama sekali tidak boleh meremehkan lonjakan kasus varian covid-19 apa pun. Kembalinya badai covid-19 tidak boleh terulang agar kita tak terjerembap di kubangan penderitaan yang lebih lama.

 



Berita Lainnya