Hapus Stempel 'Nonhalal' Mantan Narapidana

01/4/2025 05:00


SEGALA kebijakan yang keliru dan tidak pada tempatnya haruslah dibenahi demi kebaikan bersama. Jika dibiarkan, kebijakan yang bermasalah hanya akan menyulitkan masyarakat dan menghambat perkembangan yang seharusnya dapat tercapai.

Salah satu kebijakan yang mendesak untuk ditinjau itu ialah keberadaan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). SKCK kerap menjadi prasyarat untuk mendaftar pekerjaan, keperluan berkuliah, bahkan untuk mengikuti kontestasi pemilu presiden.

SKCK dulu dikenal dengan nama Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB). Namun, Polri kemudian mengubah SKKB menjadi SKCK mulai 1 Juli 2003 karena Korps Bhayangkara tidak bisa menjamin bahwa seseorang benar-benar berkelakuan baik. Adapun SKCK dibuat berdasarkan fakta-fakta catatan kriminal tentang ada atau tidaknya jejak kejahatan yang pernah dilakukan seseorang.

Adanya perubahan dari SKKB menjadi SKCK menunjukkan institusi Polri sangat adaptif dengan perubahan dan tidak kaku dalam menyikapi situasi kontemporer di masyarakat. Sikap serupa diharapkan akan kembali ditunjukkan Polri setelah Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) berkirim surat kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menghapuskan SKCK.

Dirjen Instrumen dan Penguatan HAM Kementerian HAM Nicholay Aprilindo menyebut SKCK berpotensi menghalangi hak asasi warga negara, khususnya mantan narapidana. Kementerian menemukan narapidana residivis saat melakukan pengecekan ke berbagai lembaga pemasyarakatan di sejumlah daerah.

Mantan narapidana kesulitan mencari pekerjaan karena di dalam SKCK terdapat keterangan yang menyatakan bahwa mereka pernah dipidana. Perusahaan atau tempat pekerjaan lain sukar menerima seorang mantan narapidana untuk bekerja. Situasi ini kemudian melahirkan lingkaran setan karena mereka kembali melanggar hukum akibat kesulitan mencari pekerjaan setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Keberadaan narapidana residivis pada akhirnya mengakibatkan terjadinya kelebihan penghuni di lembaga pemasyarakatan, yang tentunya akan melahirkan berbagai masalah baru.

Sepanjang demi kemanusiaan, penegakan dan pemenuhan serta penguatan HAM, apalagi tidak ada sangkut pautnya dengan politik, usulan tersebut layak untuk dieksekusi oleh Kapolri. Jangan karena SKCK, HAM narapidana digilas begitu saja sampai menghambat reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Narapidana telah menjalani hukuman sehingga kembali memiliki hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam masyarakat, terutama dalam hal pekerjaan.

Menghapus SKCK agar tidak menjadi hambatan bagi mantan narapidana dalam memperoleh pekerjaan adalah langkah yang seharusnya mendapat perhatian serius. Negara harus hadir dan membantu mengurangi stigma terhadap mereka dan memberikan kesempatan untuk berkontribusi kembali kepada masyarakat. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 telah tegas menyebutkan bahwa 'Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan'.

Dengan adanya dasar konstitusi, seharusnya tidak ada lagi kebijakan menghambat mantan narapidana mencari pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. SKCK telah lama menjadi stempel 'nonhalal' bagi mantan warga binaan yang membuat calon pemberi kerja langsung mundur teratur. Itu bukan rumor belaka, melainkan hasil penelitian komprehensif Kementerian HAM.

Kita tentu tidak ingin para pemberi kerja membeli kucing dalam karung. Mereka juga berhak menerima karyawan yang sesuai dengan kriteria dan kualifikasi yang telah ditetapkan. Akan tetapi, biarkanlah proses kandidasi dan seleksi tersebut lahir secara alamiah.

Jangan biarkan kegagalan mendapatkan pekerjaan terjadi akibat selembar surat berstempel kepolisian. Apalagi sudah menjadi rahasia umum, masyarakat kerap dibisiki kata 'seikhlasnya' demi selembar SKCK.
 

 



Berita Lainnya