Birokrasi Bersih Jangan Jadi Ilusi

17/2/2025 05:00

INTEGRITAS dan korupsi ibarat dua sisi koin yang saling membelakangi. Yang satu terkait dengan hidup berkomitmen, kejujuran, dan bertanggung jawab, sisi lain justru bersangkut paut dengan penyelewengan.

Integritas akan melahirkan pemimpin yang berwibawa, dengan kejujuran menjadi batu penjurunya. Sebaliknya korupsi hanya menelurkan sengsara karena akan menggerogoti dan menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

Kedua hal itu menjadi kegelisahan banyak orang, bahkan para pemimpin birokrasi. Tidak mengherankan jika bagi 4.602 responden Survei Kepemimpinan 2024 yang dilaksanakan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN), isu integritas dan korupsi menjadi yang terbanyak disorot sebagai tantangan terbesar yang dihadapi pada 2025.

Yang jadi soal, bagi sebagian besar responden, penegakan hukum masih rendah dan kebijakan pemberantasan korupsi belum maksimal. Secara tidak langsung, para pemimpin menyatakan lingkaran setan korupsi masih akan mengemuka.

Memang, secara angka, skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia membaik. Skor IPK 2024 Indonesia naik 3 poin ketimbang tahun sebelumnya. Akan tetapi, apalah arti sebuah angka bila publik masih kerap diberi tontonan kejadian ganjil yang mengonfirmasi masih maraknya korupsi.

Contoh amat nyata yang mutakhir ialah kasus korupsi tata niaga komoditas timah. Pengadilan negeri memvonis sangat ringan para terdakwanya, Harvey Moeis dan kawan-kawan, meski tindakan korupsi mereka diduga merugikan keuangan negara hingga Rp300 triliun.

Untung saja, hakim di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengoreksi vonis itu lalu menggantinya dengan memberikan hukuman 20 tahun. Sebuah hukuman langka, yang mestinya kerap diterapkan untuk kasus korupsi yang sudah menjadi kanker ganas di negeri ini.

Survei LAN yang menunjukkan tantangan besar integritas dan penegakan hukum kian terkonfirmasi dalam kasus hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang terjerat suap terkait dengan putusan bebas Gregorius Ronald Tannur dalam perkara pembunuhan Dini Sera Afriyanti. Sosok hakim yang kerap disebut sebagai wakil Tuhan dan seharusnya menjaga integritas tinggi dalam mengadili perkara, malah terjerumus dalam lumpur suap.

Korupsi dalam artian penyalahgunaan kekuasaan memang bukan monopoli hakim. Semua orang yang memiliki kuasa memang cenderung untuk korupsi. Makanya, menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kecenderungan kasus korupsi dari tahun ke tahun juga tidak terlalu berpengaruh pascakehadiran lembaga antirasuah tersebut.

Pelakunya juga beragam, mulai dari anggota DPR RI atau DPRD, kepala lembaga/kementerian, kepala daerah, dan pejabat lain di berbagai tingkatan. Para penyelenggara negara tentu sudah menandatangani pakta integritas dan mengikuti beragam pelatihan dari KPK. Sayangnya, mereka-mereka juga yang menjadi tahanan KPK.

Maka, salah satu hal penting agar tantangan itu bisa ditaklukkan ialah para pemimpin berbagai level birokrasi tidak boleh sekadar berbasa-basi. Berpidato antikorupsi memang penting sebagai pengingat. Membuat pakta integritas dan bersumpah menumpas korupsi juga tidak boleh ditinggalkan. Namun, bila itu semua tidak dibuktikan dengan perubahan nyata yang terlihat, tekad mewujudkan pemerintahan yang bersih cuma ilusi.

 

 



Berita Lainnya