Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
DARI hari ke hari, kasus pagar laut di Tangerang hanya menguatkan dua kemungkinan. Pertama, adanya pemodal besar di balik itu. Kedua, lagi-lagi, negara yang lemah.
Tidak perlu otak supercemerlang untuk mengerti bahwa hanya pemodal besar, bahkan raksasa, yang bisa memerintahkan pembangunan pagar tersebut. Dengan panjang pagar yang kini sudah mencapai 30 kilometer lebih, biaya yang dikeluarkan jelas sangat besar, termasuk mengupahi orang untuk membangunnya yang disebut-sebut mencapai Rp100 ribu per hari. Hanya pemodal besar yang bisa melakukan itu.
Adanya ormas nelayan, yakni Jaringan Rakyat Pantura (JRP), yang mengaku sebagai pemasang pagar, justru hanya kian menguatkan dugaan bahwa pemodal besarlah yang menjadi dalang. Dalih gotong royong para nelayan sebagaimana dikemukakan jaringan itu sangat sulit diterima akal. Hal itu mengingat biaya pembangunan pagar mencapai miliaran rupiah, sedangkan pendapatan nelayan tengah merosot.
Alasan gotong royong memagari laut untuk mencegah abrasi juga menggelikan dan membuat pengakuan JRP itu semakin mirip dagelan. Sebab, bukan saja telah membuat nelayan sulit melaut, pagar itu nyatanya juga merusak ekosistem.
Nelayan sejatinya sudah melaporkan berbagai keluhan tentang pagar laut itu ke pemerintah daerah sejak September tahun lalu, tapi tidak ada respons konkret. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga baru melakukan investigasi setelah masalah tersebut menjadi isu nasional dua minggu ini.
Maka, kini yang menjadi pertanyaan ialah mengapa KKP tidak juga mengungkapkan dalang meski menyebut sudah mengantongi nama pemagar? Padahal, bukan saja mengungkapkan otak kasus ini, KKP semestinya segera melakukan langkah hukum mengingat sedikitnya ada empat peraturan yang dilanggar dengan keberadaan pagar laut tersebut.
Pertama, pemagaran tanpa izin itu melanggar Pasal 17 UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kedua, jelas pula pagar itu melanggar Pasal 21 UU No 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menyebutkan bahwa pemanfaatan wilayah perairan harus berdasarkan kepentingan nasional, termasuk kepentingan lingkungan dan ekonomi masyarakat sekitar.
Pun, pembangunan pagar itu tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), sehingga jelas melanggar Pasal 36 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mensyaratkan bahwa setiap kegiatan yang berdampak penting pada lingkungan wajib memiliki amdal.
Lalu, dengan banyaknya keluhan nelayan lokal, maka pagar itu melanggar pula Pasal 8 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 23 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mewajibkan semua pihak yang melakukan pemanfaatan ruang laut untuk mengutamakan kepentingan masyarakat pesisir dan kelestarian lingkungan.
Banyaknya pelanggaran dari kasus ini mestinya membuka mata bahwa tujuan akhir dari pembangunan pagar laut tersebut bisa lebih mengerikan. Pagar laut ini bisa jadi hanyalah langkah awal dari pencaplokan wilayah pesisir dengan mematikan terlebih dulu kehidupan nelayan lokal.
Karena itu, lambannya penanganan kasus ini, baik di pemerintah daerah maupun pusat, justru menguatkan aroma busuk. Publik tidak salah jika mencurigai adanya keterlibatan para pejabat. Bantahan hanya bisa ditunjukkan jika KKP segera mengungkap dan menindak tegas pelaku dan aktor yang memerintahkan pemagaran. Penindakan sama sekali tidak cukup dengan ultimatum agar membongkar sendiri pagar itu dalam waktu 20 hari.
Kita sepakat bahwa kerusakan ekosistem dan terganggunya penghidupan nelayan harus segera dihentikan. Pagar harus dibongkar segera. Namun, di saat bersamaan, proses hukum atas kasus ini juga mesti diikhtiarkan maksimal. Termasuk bila ada keterlibatan pejabat mulai dari tingkat daerah hingga pusat dalam pembiaran pembangunan pagar, semua harus segera diusut tuntas. Ini sekaligus untuk membalikkan cibiran publik bahwa negara sedang dibelenggu pagar laut.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia.
PEMERIKSAAN dua menteri dari era Presiden Joko Widodo oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi menjadi sorotan publik.
SAMA seperti perang terhadap korupsi, perang melawan narkoba di negeri ini sering dipecundangi dari dalam.
EKONOMI Indonesia melambung di tengah pesimisme yang masih menyelimuti kondisi perekonomian global maupun domestik.
BERAGAM cara dapat dipakai rakyat untuk mengekspresikan ketidakpuasan, mulai dari sekadar keluh kesah, pengaduan, hingga kritik sosial kepada penguasa.
MANTAN Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong dan mantan Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto telah resmi bebas dari tahanan.
Kebijakan itu berpotensi menciptakan preseden dalam pemberantasan korupsi.
ENTAH karena terlalu banyak pekerjaan, atau justru lagi enggak ada kerjaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memblokir puluhan juta rekening milik masyarakat.
KASUS suap proses pergantian antarwaktu (PAW) untuk kader PDI Perjuangan Harun Masiku ke kursi DPR RI masih jauh dari tutup buku alias belum tuntas.
Intoleransi dalam bentuk apa pun sesungguhnya tidak bisa dibenarkan.
KEPALA Desa ibarat etalase dalam urusan akuntabilitas dan pelayanan publik.
KONFLIK lama Thailand-Kamboja yang kembali pecah sejak Kamis (24/7) tentu saja merupakan bahaya besar.
NEGERI ini memang penuh ironi. Di saat musim hujan, banjir selalu melanda dan tidak pernah tertangani dengan tuntas. Selepas banjir, muncul kemarau.
Berbagai unsur pemerintah pun sontak berusaha mengklarifikasi keterangan dari AS soal data itu.
EKS marinir TNI-AL yang kini jadi tentara bayaran Rusia, Satria Arta Kumbara, kembali membuat sensasi.
SEJAK dahulu, koperasi oleh Mohammad Hatta dicita-citakan menjadi soko guru perekonomian Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved