Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

SK Kemenkumham Jadi Pegangan Terkait Kepengurusan PPP

Media Indonesia
09/9/2022 20:05
SK Kemenkumham Jadi Pegangan Terkait Kepengurusan PPP
Ketua Umum DPP PPP Suharso Monoarfa(Antara)

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) tentu akan berpegang pada surat keputusan Kemenkumham terkait kepengurusan suatu partai politik. Sejauh tidak ada perubahan melalui mekanisme resmi, kepengurusan lama akan tetap diakui.

"Tentu KPU berpegangan atau berlandaskan pada SK Kemenkumham, tentang kepengurusan DPP partai politik. Seperti halnya Suharso Monoarfa, dinilai sah memimpin PPP," tegas pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin, di Jakarta, Jumat (9/9).

Selain itu, lanjut Ujang, pemerintah juga harus objektif karena posisi Suharso sesuai AD/ART PPP. Sedangkan yang tidak sesuai harus ditolak atau tidak disahkan karena dipastikan ilegal. "Hal ini perlu ditegaskan agar tidak rumit dan konflik tak semakin panjang," tambahnya.

Suharso Monoarfa sejauh ini menegaskan masih menjabat ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sekaligus Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas. Alhasil, hal ini menampik adanya hasil Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPP di Banten.

Sejauh ini, Menkumham Yasonna Laoly belum menerbitkan SK kepengurusan PPP yang baru usai kubu Muhammad Mardiono mengklaim menggantikan Suharso. KPU pun mengakui PPP sebagai calon peserta Pemilu 2024 dengan struktur kepengurusan Suharso Monoarfa sebagai Ketua Umum PPP.

"Semua organisasi itu ya berpatokan pada AD/ART. Kalau tidak sesuai (AD/ART) maka pemerintah seharusnya bisa langsung menolak pengajuan dari pihak satunya," tambah Ujang.

Hal senada juga diungkapkan praktisi hukum Pitra Romadoni Nasution. Menurutnya, Mukernas yang menghasilkan pergantian jabatan tersebut bisa dikatakan tidak sah. Penyebabnya ajang itu tidak dihadiri ketua, sekretaris, dan bendahara sebagaimana layaknya organisasi.

"Kalau dari pandangan hukum, mengenai organisasi politik harus sesuai AD/ART-nya. Kalau bertentangan dengan AD/ART tentu enggak sah hasil keputusannya," papar Pitra.

Legalitas pengurusan partai politik harus melalui keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jadi harus menyampaikan atas dasar apa mereka ganti ketumnya. Apakah ada kesalahan? Kalau iya, apakah sudah dilakukan pemeriksaan oleh Mahkamah Partai? Sebab menurut UU No. 2 tahun 2011, Mahkamah Partai itu adalah organ partai untuk menyelesaikan tiap sengketa," paparnya. (RO/O-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eko Suprihatno
Berita Lainnya