Mengimpor Hakim

10/1/2025 05:00
Mengimpor Hakim
Jaka Budi Santosa Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

TEMAN saya masih saja uring-uringan. Amarahnya membuncah saban membicarakan vonis hakim untuk Harvey Moeis. Dia geram tiap mengingat betapa ringannya hukuman buat suami artis Sandra Dewi yang terbukti merugikan negara ratusan triliun rupiah.

Saya yakin teman saya tak sendirian. Pasti banyak, sangat banyak, orang lain yang berperasaan sama. Sama-sama kesal, marah. Pun, pasti tak sedikit rakyat yang sulit untuk move on, melupakan putusan hakim yang sungguh melukai rasa keadilan itu.

Vonis untuk Harvey yang diputuskan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (23/12/2024), memang kebangetan. Bayangkan, kendati terbukti korupsi yang merugikan negara Rp300 triliun, dia cuma dihukum 6 tahun 6 bulan, denda Rp 1 miliar, dan membayar uang pengganti Rp210 miliar subsider 2 tahun penjara.

Begitulah, dengan kerugian sejumbo itu, vonisnya seringan bulu. Putusan majelis hakim yang diketuai Eko Aryanto itu cuma separuh lebih dikit daripada tuntutan jaksa yang sebenarnya sudah ringan, yakni 12 tahun penjara.

Hukuman untuk Harvey dalam kasus korupsi PT Timah tak akan bisa dilupakan, apalagi dimaafkan. Pun dengan hukuman untuk para terdakwa lain yang rerata juga enteng-enteng saja. Ia menambah panjang daftar hukuman yang bertentangan dengan logika. Kalau harus dirinci satu per satu, kolom ini tak akan cukup. Terlalu banyak untuk disebutkan. Oleh karena itu, bolehlah kita tengok beberapa kasus belakangan ini saja.

Salah satu yang membuat heboh ialah vonis rendah untuk eks anggota Badan Pemeriksaan Keuangan Achsanul Qosasi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/6/2024). Oleh majelis, Achsanul dinyatakan terbukti melakukan korupsi proyek BTS 4G pada Bakti Kominfo dan menerima uang Rp40 miliar, tapi cuma divonis 2,5 tahun atau setengah dari tuntutan jaksa yang hanya 5 tahun penjara. Alasannya, dia sudah mengembalikan uang tersebut dan sopan di persidangan. Aneh? Banyak yang menganggap demikian. Enak betul jika mengembalikan uang korupsi karena kadung ketahuan lalu mendapat keringanan hukuman.

Di luar perkara korupsi, hakim belum lama ini membuat heboh tatkala memvonis bebas Gregorius Ronald Tanur di PN Surabaya, Jawa Timur, Juli lalu, dalam perkara pembunuhan Dini Sera Afriyanti. Usut punya usut, ada suap di balik 'kebaikan hati' majelis hakim yang terdiri atas Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo. Ketiganya kena OTT dan kasus mereka sedang bergulir di persidangan. Dalam perkembangannya, kasus itu juga menyasar bekas pejabat Mahkamah Agung Zarof Ricar yang dalam penggeledahan di rumahnya ditemukan uang sekitar Rp1 triliun. Edan.

Begitulah, rakyat kerap disakiti deretan vonis yang bertentangan dengan nurani. Data Indonesia Corruption Watch itu mengonfirmasi betapa lemahnya negara melawan korupsi. Dari 866 kasus dengan 898 terdakwa yang disidangkan di pengadilan tipikor sepanjang 2023, rerata vonis buat koruptor cuma 3 tahun 4 bulan penjara. Menyedihkah, bukan?

Karena itu, wajar, sangat wajar vonis untuk Harvey menyayat akal sehat rakyat. Kalau meminjam lirik lagu Jatuh Bangun-nya Meggy Z, vonis itu ibarat luka di atas luka. 'Sudah tahu luka di dalam dadaku...Sengaja kau siram dengan air garam...'. Begitu kira-kira. Pedih, perih.

Tak cuma rakyat kebanyakan, Presiden Prabowo Subianto sepertinya juga terluka. Dia tak habis pikir, orang yang merugikan negara ratusan triliun rupiah, kok, hanya divonis 6,5 tahun. Dia membandingkan dengan maling ayam yang dihukum berat, digebuki pula.

Kalau rakyat terluka, itu sudah biasa. Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Paling ngegerundel, mengumpat, lalu meratap, kok, seperti ini nasib bangsa ini. Namun, kalau seorang presiden yang terluka, seharusnya lain cerita. Dengan kewenangan dan kekuasaannya, dia bisa melakukan perbaikan, membuat perubahan.

Dari sekitar 7.700 hakim yang ada, pasti tidak semuanya jahat. Soal lebih banyak yang baik atau yang buruk, saya tidak tahu pastinya. Yang jelas, tiada henti di antara mereka melukai rasa keadilan publik. Upaya bersih-bersih katanya sudah lama dilakukan, tapi nyatanya yang kotor terus saja dipertontonkan. Apa yang salah?

Beberapa negara punya cara radikal untuk membersihkan lembaga peradilan. Georgia, misalnya. Negara pecahan Uni Soviet itu pernah memberhentikan semua hakim, lalu diganti yang baru. Tujuan mereka memastikan peradilan steril dari penyimpangan. Untuk mengisi kekosongan, mereka mendatangkan hakim dari luar negeri guna menangani perkara selama masa transisi.

Tak cuma hakim, Georgia pernah pula merombak total institusi kepolisian. Saat menjabat pada 2004, Presiden Mikheil Saakashvili memecat 30 ribu polisi sebagai bagian dari perang melawan korupsi.

Malta dan Irlandia juga pernah mengimpor hakim. Demikian halnya dengan Singapura, Hong Kong, Timor Leste, dan Afrika Selatan. Bagaimana dengan kita, Indonesia? Dulu, sejumlah kalangan mengusulkan. Kini, tak ada salahnya solusi itu ditimbang-timbang dengan hati yang lapang. Kalau mau, datangkan saja hakim dari luar negeri yang memang sudah teruji khusus untuk mengadili perkara-perkara korupsi. Beri mereka gaji tinggi dengan syarat harus tegas tanpa batas menindak pelaku korupsi.

Kalau naturalisasi pesepak bola untuk kesebelasan nasional disikapi masyarakat dengan pro dan kontra yang sangat terasa, saya yakin rakyat kompak sepakat jika kita mengimpor hakim. Bagaimana pembaca?



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima