Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran. Lalu, di sebuah kolom Mahbub menumpahkan unek-uneknya itu.
"Membaca koran itu bukan seperti makan lemper yang sudah pasti enaknya. Misalnya, sering kali orang melewatkan halaman depan yang memuat ucapan-ucapan aneh dan klise. Misalnya, pembaca tidak tertarik lagi dengan istilah 'penyesuaian', karena kata itu sudah pasti berarti kenaikan harga, dan bukan sebaliknya," tulis Mahbub.
"Seorang murid SD malahan punya usul yang amat progresif, bagaimana kalau lawan kata 'turun' diganti saja dengan 'sesuai' dan bukannya 'naik'," Mahbub melanjutkan sebagaimana saya nukil dari buku Asal Usul karya Mahbub.
Namun, kritik Mahbub tidak kunjung bersambut. Kian ke sini bukannya berkurang, gejala eufimisme ('penghalusan' bahasa atau tepatnya pengelabuan bahasa) itu makin merajalela. Jejaknya terasa hingga kini. Polisi lebih suka memakai istilah 'diamankan' ketimbang 'ditangkap'. Padahal, faktanya ditangkap dan belum tentu aman. Dalam beberapa kasus, ada demonstran yang tidak aman karena ditangkap.
Ada juga yang menggunakan istilah 'penertiban' pedagang untuk menggantikan 'penggusuran' meski faktanya digusur. Mereka yang 'ditertibkan' itu nyatanya malah kian tidak teratur, bahkan berjualan secara sembarangan karena kehilangan lapak setelah digusur.
Kini, yang masih hangat ialah istilah cleansing ratusan guru honorer Jakarta yang oleh Penjabat Gubernur Jakarta Heru Budi Hartono dimaknai sebagai 'pemadupadanan data'. Padahal, faktanya ialah pemecatan guru-guru honor. Para guru yang terkena pembersihan itu, toh, akhirnya tidak mengajar lagi dan tidak menerima honor lagi. Jadi, apa bedanya dengan dipecat?
Beberapa daerah di Jawa Barat juga lebih senang memakai eufimisme dalam kasus pemecatan guru honorer ini. Mereka menggunakan istilah 'penggeseran' untuk sebuah tindakan pemutusan hubungan kerja alias pemecatan. Faktanya, sebagian besar guru honorer yang digeser ini 'nyemplung' ke 'kolam' pemberhentian permanen dari mengajar.
Saya, kok, jadi ikut-ikutan risau seperti Mahbub. Saya jadi bertanya-tanya, sudah sedemikian menjadi mantrakah pengelabuan bahasa yang dikenalkan Orde Baru? Bahasa yang sudah diintervensi kepentingan politik praktis seperti itu amat potensial menjadi alat hegemoni politik kekuasaan.
Saya lalu ingat pernyataan penyair Zawawi Imron soal bahasa. Kata Zawawi, bahasa memiliki daya magisnya sendiri. Zawawi mengisahkan Presiden Pertama RI Sukarno pernah mengenang puisi fenomenal Chairil Anwar berjudul Aku, sebagai contoh daya magis itu.
Bung Karno pernah mengatakan, "Saudara-saudara sebangsa, setanah air, salah seorang penyair kita, Chairil Anwar namanya, mengatakan 'aku mau hidup seribu tahun lagi'. Aku kagum kepada kalimat ini saudara," kata Bung Karno.
Dari puisi Chairil pun, Sukarno juga ingin hidup seribu tahun lagi. Sukarno yakin bahwa cita-cita kemerdekaan akan hidup 100 tahun lagi. Kalimat itu terus digaungkan Bung Karno. Itu artinya, kata-kata tidak sekadar formal, tapi mampu memotivasi kehausan atau dahaga masyarakat yang memang membutuhkan kalimat inspiratif dari para pemimpin.
Para empu kebudayaan dan ahli bahasa pun menyarankan agar bahasa yang inspiratif dan penuh hikmah muncul dari para pemimpin. Apa yang membuat bahasa hari ini terkesan begitu kaku ialah bahasa hanya digunakan sebagai alat komunikasi. Lebih parah lagi, bahasa digunakan sebagai pengelabuan demi citra diri agar terkesan positif.
Selain sebagai alat komunikasi, bahasa mestinya berfungsi sebagai penyambung rasa keindahan antara satu dan yang lain. Jadi, bila dari mulut pemimpin keluar bahasa inspiratif, kalimat empati, juga motivasi, ia melahirkan energi. Kalau seorang sakit, yang satu punya rasa simpati dengan merasa bahwa 'yang tertusuk padamu, berdarah padaku'.
Hari-hari ini, bagian terbesar dari rakyat menengah ke bawah tengah diimpit masalah ekonomi. Di tengah ketidakpastian ekonomi, mereka masih menghadapi tekanan ketidakpastian pekerjaan, termasuk para guru honorer. Tanggung jawab negara ialah menyediakan pekerjaan.
Janganlah pula karena ketidakmampuan menyediakan pekerjaan, mengelabui mereka dengan eufimisme bahasa. Mereka yang digeser mestinya ditampung ke tempat lain, bukan malah dibiarkan digeser ke pinggir lalu dibiarkan nyemplung ke jurang karena enggak ada pagar.
Pun dengan penggunaan istilah cleansing atau pembersihan guru honorer, secara tidak sadar (atau memang sadar?) menganggap bahwa para pendidik itu ialah sampah yang mengganggu sehingga mesti dibersihkan. Jangan begitu, ah. Istilah itu amat sadis dan horor buat guru honor.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved