Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
ADA rumus yang dipahami umum, membangun jauh lebih sulit daripada merusak. Itu berlaku di bidang apa pun. Baik bangunan fisik maupun nonfisik. Usaha yang mesti dikeluarkan untuk merusak atau menghancurkan sebuah bangunan barangkali tidak sampai sepersepuluh dari kerja keras saat membangunnya.
Rumus itu juga berlaku ketika kita bicara tentang bangunan demokrasi. Untuk membangunnya butuh waktu yang sangat panjang, berkelok, pun penuh pergulatan dan perjuangan. Demokrasi di negeri ini melewati banyak transformasi, mulai sistem demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, hingga demokrasi yang berkembang belakangan sebagai hasil reformasi.
Proses pergantian atau transisi di setiap perubahan sistem demokrasi itu selalu tidak mudah. Banyak hal dipertaruhkan. Tidak sebatas memunculkan gejolak politik, sosial, dan ekonomi; di setiap transisi itu juga kerap memakan korban jiwa.
Sampai saat ini pun sistem demokrasi di Indonesia belumlah final karena, harus diakui, implementasinya belum sepenuhnya memenuhi tatatan demokrasi yang dikehendaki reformasi. Artinya, pembangunan demokrasi di Indonesia sesungguhnya masih berproses dan terus berjalan. Publik menjadi pengawal sekaligus pengawas proses tersebut.
Kalau kita ibaratkan bangunan rumah, konstruksinya sudah berdiri, tetapi baru konstruksi utamanya. Masih perlu diperkuat dengan konstruksi-konstruksi tambahan dan penyempurnaan di sana-sini. Mungkin belum seindah dan semegah yang diinginkan, tapi sudah cukup permanen untuk ditinggali.
Namun, di dalam proses itu, datanglah malapetaka. Bangunan yang dibangun dengan susah payah, dengan pengorbanan yang tak terhitung, itu tiba-tiba didatangi sekumpulan perusak yang ingin berlama-lama menguasai bangunan tersebut. Keserakahan kiranya telah menggelapkan mata dan hati mereka sehingga tega merusak rumah besar yang sejatinya merupakan tempat mereka lahir dan bertumbuh bersama.
Seperti itulah yang kini menimpa bangunan demokrasi Indonesia. Upaya-upaya merusak demokrasi sudah kian nyata dipampangkan di depan mata. Berderet-deret tindakan antidemokrasi kian sering dipertontonkan, tanpa rasa takut, sungkan, atau malu. Secara terstruktur, sistematis, dan masif, bangunan demokrasi terus-menerus digerus.
Salah satu puncaknya ialah ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terhadap UU Pemilu terkait dengan batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden. Putusan tersebut membuka jalan lebar bagi putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, menjadi cawapres mendampingi capres Prabowo Subianto.
Mengapa itu disebut salah satu puncak upaya kerusakan? Karena tidak bisa dimungkiri di belakang putusan MK itu ada peran sentral Ketua MK Anwar Usman yang notabene ialah ipar Presiden Jokowi. Konflik kepentingan antara paman, ipar, dan keponakan terlalu kentara untuk ditampik. Pelanggaran etikanya terlampau blak-blakan dan sulit untuk dibantah.
Demi kepentingan mereka, modifikasi melalui cara-cara yang di luar nalar hukum dan etika demokrasi pun tidak sungkan mereka lakukan. Hukum ditanggalkan, etika dipinggirkan, nalar dikesampingkan. Alih-alih membangun demokrasi, rezim ini malah membangun dinasti politik dan menghidupkan lagi nepotisme yang sejatinya merupakan benalu demokrasi.
Dengan berpangkal pada itu, upaya perusakan demokrasi semakin menjadi-jadi. Ketidaknetralan penyelenggara negara menjadi isu besar, terlebih ketika Presiden Jokowi semakin terang-terangan menunjukkan ketidaknetralannya sebagai kepala negara. Mulutnya berkali-kali menjanjikan sikap netral, tapi faktanya dia tidak mampu menutupi keberpihakannya untuk mendukung sang putra mahkota.
Belakangan Jokowi bahkan tak kuasa lagi menahan nafsunya untuk berucap bahwa pejabat publik termasuk presiden boleh memihak dan berkampanye. Ia juga tiba-tiba rajin melakukan kunjungan kerja ke daerah, membagi-bagikan bantuan sosial, mempromosikan program dan proyek pemerintah, seolah-olah sedang berkampanye demi kemenangan anaknya.
Benar belaka kata pakar kebinekaan Sukidi yang menyitir kalimat penutup pidato Bung Hatta bertajuk Indonesia Merdeka. Kalimat itu menyiratkan pesan kepada Jokowi bahwa keberpihakan presiden boleh digunakan semata-mata untuk kemenangan bangsa dan Tanah Air tercinta. Bukan untuk kemenangan dirinya atau putranya sekalipun.
Kiranya Jokowi lupa bahwa ia anak kandung demokrasi. Ia dilahirkan melalui proses kontestasi demokrasi yang sehat, bukan demokrasi yang dipenuhi ketidaknetralan kepala negara, bukan pula demokrasi yang mengunggulkan dinasti dan nepotisme.
Namun, tindakan-tindakannya justru melawan demokrasi. Ia bahkan memimpin gerbong yang ingin mengkhianati dan merusak demokrasi. Barangkali inilah yang dinamakan durhaka demokrasi.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved