Despotisme Baru?

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
11/10/2023 05:00
Despotisme Baru?
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

PENCABUTAN izin secara mendadak acara diskusi publik ialah masalah serius bagi demokrasi. Apa yang dialami bacapres Koalisi Perubahan Anies Baswedan dan komunitas sipil di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, saat Pemprov Jawa Barat tiba-tiba menganulir izin yang sudah dikantongi panitia, seolah mereplikasi era Orde Baru. Ketika itu, siapa yang berbeda suara tidak mendapat tempat.

Berbeda dengan Orde Baru yang tindakan antidemokrasinya selalu ditantang kekuatan sipil, kini beragam langkah kekuasaan yang tidak sejalan dengan spirit demokrasi tetap mendapat dukungan.

Saya lalu teringat dengan pernyataan guru besar University of Sydney dan Wissenschaftszentrum Berlin, John Keane, tiga tahun lalu. Pada 2020, profesor di bidang politik dan kajian demokrasi ini memperingatkan akan bahaya despotisme baru di sejumlah negara.

John Keane menggambarkan dunia masa depan yang didominasi despotisme baru, yakni 'sebuah pemerintahan pseudo-demokratis jenis baru yang dipimpin oleh para penguasa yang ahli dalam seni memanipulasi dan mencampuri kehidupan masyarakat, mengumpulkan dukungan mereka, dan menang dengan kepatuhan mereka’.

Dalam despotisme baru, pemilu terus berlangsung. Pemisahan kekuasaan politik dan peradilan juga dijalankan. Kesetaraan warga negara tetap dipertahankan. Tapi, semuanya semu. Segalanya serbaseolah-olah. Sepertinya demokratis, padahal yang dijalankan justru antidemokrasi.

John Keane mencontohkan Turki di bawah Presiden Recep Tayyip Erdogan. Erdogan dan partainya, AKP, berkuasa dengan mengartikulasikan bahasa keadilan sosial yang populis dalam kelompok Islam. Namun, Erdogan menerapkan despotisme baru, dimulai dengan mengubah konstitusi yang memungkinkannya memegang kekuasaan hingga 2029.

Di sisi lain, pascapercobaan kudeta pada 2016, lebih dari 160 ribu anggota lembaga peradilan, akademisi, guru, polisi, dan pegawai negeri sipil dianggap sebagai pembangkang. Beberapa aktivis juga dipersekusi hingga mereka meninggalkan Turki.

Beberapa contoh lainnya, tulis Keane, juga terjadi pada Presiden Jair Bolsonaro di Brasil, Viktor Orban di Hongaria, Emomali Rahmon di Tajikistan, Rodrigo Duterte di Filipina. Ketika memerintah, mereka tetap populer, kendati banyak tindakan mereka yang tidak demokratis.

Despotisme baru berbeda dengan despotisme klasik yang mengacu pada kekerasan dan penegakan hukum sewenang-wenang tanpa persetujuan rakyat.

Rezim despotisme baru memerlukan keberadaan institusi demokrasi dan pemilihan umum yang bebas dan adil. Bentuk demokrasi yang menyimpang memiliki kapasitas menciptakan persetujuan sosial melalui manipulasi.

Jadi, dalam despotisme baru, meskipun ketidakadilan ada di depan mata, kebebasan berekspresi dikekang, kekuasaan mulai memainkan hukum, dan prinsip rule of law diganti rule by law, rezim tetap mampu memuaskan rakyat. Mereka tetap mendapatkan 'persetujuan' rakyat yang tecermin, salah satunya, dari hasil survei tingkat kepuasan publik.

Peringatan Keane itu juga diulas dosen ilmu politik Universitas Airlangga Surabaya Airlangga Pribadi Kusman dan dosen ilmu hukum Universitas Brawijaya Malang Milda Istiqamah melalui analisis di Melbourne Asia Review, sebuah jurnal milik Asia Institute.

Dalam tulisan berjudul Indonesia's 'new despotism' yang diunggah pada Mei 2021 itu, keduanya memperingatkan bahwa penguasa Indonesia bisa 'tergoda' menjadi kaum 'despotik baru'. Mereka meletakkan kata despotisme baru dalam tanda kutip.

Airlangga dan Milda menganalisis tanda-tanda yang bisa mengarahkan Indonesia terjebak pada despotisme baru itu. Di antaranya, pernyataan Presiden Joko Widodo yang sering menganggap demokrasi kita kebablasan, terlalu gaduh, dan menghambat percepatan pembangunan ekonomi.

Selain itu, tulis Airlangga dan Milda, pemerintahan Jokowi menunjukkan ciri-ciri despotisme baru melalui penciptaan wacana antagonisme budaya yang mengkriminalisasi lawan-lawannya dari masyarakat sipil dan membantu membangun persetujuan publik.

Hal itu, misalnya, terlihat pada pembingkaian kelompok yang kritis terhadap melemahnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemerintah secara keliru menyatakan bahwa KPK telah disusupi oleh kelompok Islam radikal hingga memunculkan istilah ‘talibanisasi KPK’. Wacana ini disebarkan melalui influencer dan ‘buzzer’ di media sosial.

Saya berharap apa yang terjadi akhir-akhir ini bukan jalan ke arah despotisme baru. Terlalu mahal harganya bagi negeri ini bila kesepakatan bersama kita memilih jalan demokrasi diputarhaluankan ke antidemokrasi atas nama 'ketenangan' dan 'kenyamanan' pembangunan.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima