Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
AKANKAH Pilpres 2024 akan memperpanjang durasi polarisasi antaranak negeri? Kita tentu berharap tidak. Adakah potensi keterbelahan itu menjelang hingga setelah presiden dan wakil presiden yang baru terpilih nanti? Sayangnya harus kita katakan ‘ya’.
Polarisasi adalah masalah anyar dan serius bagi bangsa ini. Demokrasi yang semestinya menyatukan di tengah perbedaan telah salah navigasi. Politisasi politik identitas, eksploitasi SARA, telah menjadi pengoyak tenun kebangsaan, pembobol tembok persatuan.
Demi kekuasaan, elite tak tertib mulut. Demi kepentingan kelompok dan golongan, para pendukung pemburu kekuasaan rajin menebarkan kebencian, berita bohong, fitnah, terhadap kelompok lain. Baru kali ini rasanya jurang pemisah di antara sesama anak bangsa begitu menganga.
Media sosial tak lagi nyaman. Jika ada waktu, cobalah tengok akun-akun para die hard, para buzzer, dalam membela tuannya. Bak minum obat sehari tiga kali, mereka rutin mengunggah status-status pemicu perdebatan, pemantik perpecahan.
Tak cuma buzzer ala kadarnya, pendengung intelektual termasuk akademisi, budayawan, dosen, hingga guru besar dan rektor pun sama. Sama-sama kelebihan nafsu untuk meninggikan sang idola dan merendahkan rival junjungannya. Sama-sama sontoloyo.
Situasi itulah yang terjadi sampai saat ini dan mungkin hingga nanti. Situasi yang celakanya diperburuk oleh perilaku buruk para elite. Contoh terkini diperlihatkan Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Laode Umar Bonte. Bahwa dia terang-terangan menolak capres Anies Baswedan, itu sah-sah saja, itu haknya. Yang jadi soal, penolakan itu dibumbui narasi-narasi rasis.
Kata Laode, yang pantas menjadi presiden Indonesia adalah putra-putra asli Indonesia yang memiliki darah keturunan dari Indonesia. “Saya setuju Anda lahir dan besar di sini, tapi Belanda menjajah Republik Indonesia selama 350 tahun, mereka memiliki anak cucu dan lahir di sini, mereka tetap saja penjajah dan bukan bangsa Indonesia,” begitu dia bilang di videonya yang viral di medsos.
Masih ada tuturan kebencian lainnya. Laode, misalnya, menyebut Anies boleh saja memiliki orangtua atau mengaku memiliki orangtua menjadi pahlawan negara ini. ''Tetapi untuk menjadi presiden sadar diri, jangan, ini yang saya ingin menggugah.''
Entah siapa yang ingin digugah Laode. Soal pribumi, sudah kerap dikemukakan tidak ada satu pun suku di Indonesia yang bisa mengeklaim sebagai orang Indonesia asli. Kesimpulan itu bukan karangan, melainkan hasil penelitian DNA. Yang mengemukakan juga bukan orang sembarangan, melainkan Prof Dr Herawati Sudoyo dari Lembaga Penelitian Eijkman.
"Kalau kita lihat orang Indonesia dari informasi genetikanya, asal-usulnya, sebagian besar dari Austronesia, lalu Austroasiatik (Tiongkok daratan), Papua, dan India. Penandanya bahwa pribumi dan nonpribumi tidak ada karena orang Indonesia, kalau dilihat dari genetikanya, campuran," ucap Herawati.
Menyoal pribumi dan nonpribumi, tak hanya tak lagi relevan, tapi juga berbahaya. Ia berurusan dengan SARA. Jadi, buat apa lagi dijadikan senjata hanya untuk berkuasa.
Satu lagi yang dianggap bisa melanggengkan polarisasi ialah pernyataan Ketua Umum Partai Perindo Harry Tanoesoedibjo. Menurut HT yang juga Pembina Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), masyarakat Tionghoa selama ini mendukung semua kebijakan Presiden Jokowi dan bakal mendukung keputusan Jokowi tentang capres di Pilpres 2024.
Sontak, klaim HT dibantah mentah-mentah tokoh Tionghoa lainnya, Jusuf Hamka. Dia menegaskan, pernyataan HT ngawur dan membuat resah masyarakat Tionghoa.
Begitulah, ketika polarisasi masih menjadi masalah, sebagian pihak malah memperparah. Ironisnya lagi, para pemain politik SARA ialah mereka yang terus menstigma pihak lain memainkan politik identitas. Kata orang Jawa, ora ngilo githoke dhewe. Mereka bisanya hanya menyalahkan orang lain, tapi tak mau berkaca pada diri sendiri.
Tadinya saya berharap, sangat berharap, Presiden Jokowi melakukan intervensi agar polarisasi tak terus terjadi dan makin menjadi. Caranya dengan bersikap sebagai bapak semua anak bangsa, netral di pilpres. Tapi, Pak Jokowi memilih sebaliknya. Dia lebih suka cawe-cawe dalam kompetisi.
Perbedaan antara politikus dan negarawan ialah politikus hanya memikirkan pemilihan umum, sedangkan negarawan memikirkan generasi akan datang. Begitu definisi penulis Amerika James Freeman Clarke. Kiranya Pak Jokowi lebih suka menjadi politikus, kendati konsekuensinya mahal, yakni polarisasi bisa terus menebal.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved