Senja Kala Surga Pajak

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
09/6/2021 05:00
Senja Kala Surga Pajak
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI.Ebet)

PEKAN lalu, majalah The Economist menulis artikel panjang tentang kian tidak populernya surga pajak dan rezim pajak rendah di berbagai negara. Dalam artikelnya berjudul Twilight of the Tax Haven tersebut, Economist memaparkan tentang tekanan negara-negara kaya, khususnya yang tergabung dalam G-7, agar semua negara menerapkan pungutan pajak minimum.

Jika proposal itu gol, rezim pajak rendah, bahkan pajak 0%, akan berakhir. Majalah yang berbasis di Inggris itu menggambarkan bahwa selama ini terjadi ‘pertarungan’ perusahaan multinasional raksasa versus negara. Semua revolusi, tulis The Economist, memiliki pemenang dan pecundang.

Dalam kasus ini, pemenang yang paling jelas ialah ekonomi besar. Perusahaan multinasional menghasilkan banyak penjualan, tetapi membukukan laba kena pajak yang relatif sedikit, berkat perencanaan pajak yang dialirkan ke yurisdiksi pajak rendah. Keadaan jomplang ini telah berkembang seiring dengan munculnya raksasa digital, seperti Apple dan Google, yang asetnya sebagian besar tidak berwujud.

Negara-negara miskin tempat perusahaan global memiliki pabrik dan operasi lainnya juga mendapat keuntungan, tapi tidak sebanyak yang mereka kira seharusnya. Sebuah studi pada 2018 menyimpulkan bahwa sekitar 40% dari keuntungan perusahaan multinasional dialihkan ke negara-negara dengan pajak rendah. Untuk itulah, negara-negara G-7 mendesakkan proposalnya itu.

Sejumlah negara juga mulai menghilangkan aturan pajak rendah mereka. Sejak akhir 2019, misalnya, Uni Eropa (UE) mencoret Swiss, Uni Emirat Arab, dan Kepulauan Mauritius dari daftar negara suaka pajak (tax haven). Ketiga negara itu dinilai telah berkomitmen mengubah aturan pajak mereka agar sesuai dengan standar UE.

Pada akhir 2017, UE yang beranggotakan 28 negara itu pernah membuat daftar hitam dan daftar abu-abu negara yang kerap menjadi tujuan para pengemplang pajak. Daftar itu dibentuk setelah terungkap skema penghindaran pajak luas yang biasa digunakan perusahaan maupun individu untuk menurunkan tagihan pajak mereka. Gempuran terhadap wilayah surga pajak pun bakal berlanjut.

Lalu, apa untungnya situasi tersebut buat Indonesia? Secara signifikan, memang belum terlalu tampak pengaruhnya bagi penerimaan Indonesia. Namun, kian banyaknya tekanan terhadap wilayah surga pajak membuat transparansi global semakin meningkat. Dengan begitu, kemungkinan gerak pengemplang pajak tak lagi sebebas sebelumnya.

Apalagi, Indonesia terus menjalin kerja sama pertukaran informasi untuk kepentingan perpajakan dengan sejumlah negara, termasuk dengan negara yang sebelumnya masuk kawasan surga pajak seperti Swiss. Semakin banyak negara bekerja sama dalam pertukaran informasi dan transparansi dengan Indonesia, di mana pun dana ditempatkan akan mudah dideteksi.

Selama ini, pemerintah dibuat masygul oleh ulah para pengemplang pajak. Itu pula yang membuat program tax amnesty yang pernah ditempuh Indonesia pada 2017 tidak menggembirakan. Berdasarkan data Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, jumlah dana yang berhasil dibawa masuk ke Indonesia (repatriasi) dari program pengampunan pajak tersebut Rp146,7 triliun atau hanya sekitar 3% dari total deklarasi harta yang mencapai Rp4.669 triliun.

Dana repatriasi tersebut didominasi enam negara, yaitu Singapura Rp84,52 triliun, Caymand Island Rp16,51 triliun, Hong Kong Rp16,28 triliun, Virgin Island Rp6,58 triliun, dan Tiongkok Rp3,65 triliun. Sebagian wilayah tersebut tergolong surga pajak.

Kini, pemerintah bermaksud mengulangi lagi tax amnesty jilid II. Harapannya, dana repatriasi yang didulang melampaui dari apa yang didapat dari pengampunan pajak jilid I. Selain itu, deklarasi harta juga meningkat, data babon wajib pajak lebih lengkap nan akurat, walhasil rasio pajak terhadap produk domestik bruto juga meningkat. Pro dan kontra pun terjadi.

Saya sepakat dengan pengampunan pajak jilid II tersebut dengan syarat kali ini yang terakhir, tidak ada jilid lanjutan. Selain itu, tax amnesty wajib dibarengi dengan reformasi perpajakan yang menyeluruh. Tanpa itu, pengampunan pajak sekadar cara instan yang tak berpengaruh jangka panjang pada rasio perpajakan kita. Tanpa itu, pengampunan pajak II tidak akan menyelesaikan masalah kekurangan pajak atau shortfall pajak yang dialami Indonesia.

Hingga kini, tax ratio kita tak pernah menyentuh angka 15% sesuai dengan standar internasional. Direktorat Jenderal Pajak mencatat, dalam 10 tahun terakhir, capaian tertinggi tax ratio terjadi pada 2012, yakni 14%. Selebihnya di rentang 10,7% hingga 13,8%. Tahun lalu, karena dampak pandemi covid-19 tax ratio kita malah di bawah 10%. Tahun ini ditargetkan kurang dari 9%.

Era pajak rendah dan surga pajak yang kian memasuki senja kala mestinya dimanfaatkan sebaik mungkin bagi Indonesia untuk lebih fokus dalam mereformasi perpajakan dengan menyempurnakan regulasi, memperbaiki administrasi, meningkatkan pelayanan, dan konsisten melakukan pengawasan kepatuhan. Dengan sistem perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel akan menghasilkan penerimaan yang optimal dan berkelanjutan.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima