Jer Basuki Mawa Beja

Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group
28/2/2020 05:10
Jer Basuki Mawa Beja
Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

AMERIKA Serikat mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang dan menggolongkannya menjadi negara maju. Berita itu seharusnya disambut sukacita karena berarti kita naik kelas. Mengapa lalu respons yang terjadi dingin-dingin saja?

Kriteria negara maju tidak hanya dilihat dari besaran produk domestik bruto. Struktur ekonomi juga harus ditopang industri dan infrastruktur teknologi yang maju. Kehidupan masyarakatnya bukan lagi bertumpu pada pertanian sehingga standar kehidupan rata-rata tinggi. Bahkan peran dari jasa harus lebih besar daripada industrinya.

Sampai saat ini hanya 23 negara yang masuk ke Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Dari Asia, hanya dua negara yang berhak masuk karena memang sudah maju ekonominya, yaitu Jepang dan Korea Selatan.

Penetapan secara sepihak tentang daftar negara maju yang dilakukan AS sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari agenda perdagangan Presiden Donald Trump yang menginginkan perdagangan lebih fair. Dengan pemberian status yang sama, tidak ada lagi privilege yang bisa dinikmati Indonesia. Semua barang yang diekspor harus membayar bea masuk sesuai aturan berlaku.

Sejak 1974, AS sebagai kekuatan utama ekonomi dunia mengambil kebijakan untuk ikut membantu negara-negara miskin agar mampu meningkatkan ekonomi mereka sekaligus mengurangi angka kemiskinan. Caranya, melalui Perwakilan Perdagangan AS (USTR), negara adikuasa itu membuka pintu bagi masuknya produk dari negara-negara terpilih untuk masuk pasar AS.

Sampai Desember 2019 tercatat 119 negara bisa menikmati general system of preferences. Indonesia merupakan salah satu yang mendapatkan kemudahan untuk bisa memasok produk yang sekitar 4.000 jenis produknya bisa bebas bea masuk.

Dengan perubahan status golongan ekonomi, kita tentu harus menunggu apakah kita masih bisa memanfaatkan fasilitas GSP. Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Panjaitan sejauh ini merasa yakin Indonesia masih bisa menikmati fasilitas GSP. Hanya, dengan melihat kriteria negara yang berhak menerima fasilitas GSP, sulit bagi Indonesia untuk bisa mendapatkannya.

Kita sering diingatkan sebuah pepatah Jawa, 'Jer basuki mawa beja'. Untuk meraih kemuliaan itu, ada biaya yang harus dibayar. Ketika kita bangga menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor 16 di dunia, ada konsekuensi yang harus kita bayarkan. Kita harus menanggung beban seperti negara dengan kekuatan ekonomi 20 besar di dunia.

Pertanyaannya, apakah selama ini kita sudah memacu diri untuk mencapai standar hidup sama dengan negara-negara maju? Apakah kita sudah berhasil melakukan transformasi ekonomi dengan tidak lagi mengandalkan ekstrasi sumber daya alam?

Kita harus berani mengatakan, kita belum melakukan transformasi ekonomi yang membuat kita tergolong menjadi negara maju. Sebanyak 196 juta rakyat kita masih tergantung pada bantuan negara untuk biaya kesehatannya. Dengan angka kemiskinan 9,22%, masih ada sekitar 25 juta rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Bahkan di beberapa daerah seperti Papua, angka kemiskinannya bisa di atas 20%.

Orientasi untuk mengembangkan ekonomi bernilai tambah tinggi masih dalam tingkat wacana. Pada praktiknya, kita terus berupaya untuk sekadar mengekspor sumber daya alam dengan berbagai macam alasannya. Terakhir, kita berniat untuk membuka lagi ekspor benih lobster, kepiting, dan rajungan untuk periode 2-3 tahun ke depan.

Sepanjang kita tidak mau menyingsingkan lengan baju dan lebih suka sekadar menikmati anugerah Tuhan, kita tidak pernah akan beranjak menjadi negara maju. Hanya segelintir orang yang punya akses yang menikmati ekonomi ekstraktif, sementara sebagian besar rakyat lainnya hanya bisa menjadi penonton.

Begitu banyak warga bangsa ini yang akhirnya bekerja di sektor informal menunjukkan bahwa perekonomian kita belumlah menyejahterakan. Jutaan orang sepertinya terlibat dalam bisnis jasa, tetapi sebenarnya hanya sebagai tukang ojek yang mengantarkan penumpang atau makanan. Mereka menjadi sosok pengusaha informal yang diformalkan tanpa ada jaminan apa-apa.

Berulangkali kita mengingatkan bangsa ini untuk bergegas menjadi bangsa maju. Namun, cara berpikir dan cara bertindak tetap tidak juga berubah. Kita masih saja berkutat dengan ekonomi yang lama. Transformasi ekonomi begitu lamban untuk dilakukan.

Tiba-tiba sekarang kita dikelompokkan sebagai 'negara maju'. Padahal, senyatanya masih negara berkembang. Kita masih belum mampu membangun disiplin, memiliki etos kerja yang dicerminkan dengan kerja keras seperti bangsa Jepang atau Korea. Akibatnya, tidak pernah ada produksi yang dihasilkan, kecuali apa yang diberikan alam. Tanpa ada nilai tambah kita sekarang dipaksa bersaing dengan negara yang memiliki produktivitas tinggi, infrastruktur yang menunjang, efisiensi tinggi, dan menghasilkan produk bernilai tambah tinggi.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima