Memilih sebagai Kewajiban

Saur Hutabarat Dewan Redaksi Media Group
25/3/2019 05:30
Memilih sebagai Kewajiban
(MI/Ebet)

DI negeri ini menggunakan hak pilih bukan kewajiban. Warga negara bebas menggunakan hak pilih, bebas pula tidak menggunakan hak pilih.

Yang berlaku postulat menggunakan hak pilih ialah hak, tidak menggunakan hak pilih ialah juga hak. Maka tidak datang ke TPS, duduk-duduk, atau tidur-tidur di rumah di hari pemilihan umum merupakan perkara yang sah.

Apakah anak bangsa yang tidak menggunakan hak pilihnya itu tergolong warga negara yang cuek atau tidak bertanggung jawab? Dalam satu perjalanan naik taksi di Kota Jakarta, saya berdialog dengan sang sopir yang ketika itu mengatakan tidak akan menggunakan hak pilihnya. Kenapa? Di matanya tidak ada capres yang bagus. Saya bilang, karena tidak ikut menentukan jalannya negara, bapak tidak patut gembira kalau negara kian bertambah baik, sebaliknya tidak patut ikut susah kalau negara mengalami kesulitan. Saya berterus terang memilih Jokowi, dan saya berharap dia datang ke TPS.

Dalam perspektif yang optimistis percakapan dua bulan lalu itu merupakan percakapan dengan seorang warga negara yang 'belum' menentukan pilihannya, bukan orang yang 'tidak akan' datang ke TPS. Sopir taksi itu tidak sendirian.

Jumlah pemilih mengambang itu cukup banyak, bervariasi dari waktu ke waktu, dari satu lembaga survei ke lembaga survei lainnya. Temuan survei yang dilakukan Indikator, pemilih yang belum menentukan pilihan cenderung menurun dari 17,0% pada Oktober 2018 menjadi 9,2% pada Desember 2018. Cukup besar berkurang 7,8%. Namun, menurut Indikator secara statistik dinamika dalam tiga bulan terakhir itu tidak signifikan.

Survei nasional Charta Politika menghasilkan temuan pemilih yang belum menentukan pilihan sebanyak 12,8%. Survei dilakukan 22 Desember-2 Januari 2019, temuannya dirilis 16 Januari 2019.

Survei Saiful Mujani Research & Consulting menemukan kenyataan jumlah pemilih yang belum menentukan pilihan berfluktuasi, yaitu 9,8% pada September 2018, sedikit naik menjadi 10,5% pada Desember 2018, naik lagi menjadi 13,0% pada Januari 2019, lalu turun menjadi 10,6% pada Februari 2019.

Berdasarkan semua temuan itu pemilih yang belum menentukan pilihan paling sedikit 9,2% dari jumlah pemilih yang pada Pemilu 2019 jumlahnya 192,8 juta. Itu berarti, sejauh ini sedikitnya ada 17,7 juta pemilih yang belum menentukan siapa pasangan presiden-wakil presiden pilihan mereka.

Jumlah itu tentu teramat banyak untuk dibiarkan tetap mengambang tidak tahu siapa yang akan mereka pilih untuk memimpin negara ini 5 tahun ke depan. Jumlah sebanyak itu rawan politik uang, juga rawan dimanipulasi hak mereka jika mereka tidak datang ke TPS. Terbukalah pula upaya untuk menjemput mereka ke TPS, yang kiranya merupakan mobilisasi untuk memilih pasangan capres-cawapres tertentu. Mobilisasi, bukan partisipasi yang kiranya dapat menyesatkan penilaian ketika data partisipasi palsu itu dipakai untuk menilik mutu demokrasi kita.

Masuk akal jika muncul pemikiran kenapa kita tidak mengubah pandangan kita dalam kehidupan bernegara bahwa menggunakan hak pilih merupakan kewajiban warga negara? Orang harus memilih, tidak memilih dihukum denda.

Negara yang menjadikan hak pilih sebagai kewajiban ialah Australia. Orang harus punya alasan yang cukup dan valid kenapa tidak memilih. Orang bisa didenda $20 bila tidak memilih. Bahkan, bila seseorang sedikitnya empat kali tidak menggunakan hak pilihnya, dia dapat kehilangan hak untuk memilih selama 10 tahun. Orang macam itu pun berkemungkinan mendapat kesulitan untuk bekerja di sektor kepublikan. Memilih sebagai kewajiban itu telah dimulai 1924.

Menurut AEC (Australian Electoral Commission) memilih merupakan a civic duty, sebuah tanggung jawab warga negara yang dapat diperbandingkan dengan kewajiban membayar pajak. Memilih sebagai kewajiban membuat parlemen merefleksikan lebih akurat keinginan pemilih secara keseluruhan.

Demokrasi kita sesungguhnya dan senyatanya dalam proses kerusakan yang serius. Memilih ialah hak yang bebas dipakai atau tidak, bukan kewajiban. Akan tetapi, inilah hak yang dapat dipakai karena jual beli suara. Politik uang bukan halusinasi, melainkan nyata dan parah.

Menjadikan memilih sebagai kewajiban yang dapat didenda bila mengabaikannya, kiranya dapat mengoreksi kejahatan politik uang dan praktik mobilisasi warga ke kotak suara.

Harapannya ialah hasil pemilu serentak bukan hanya DPR merefleksikan lebih akurat keinginan pemilih secara keseluruhan, melainkan juga presiden terpilih merefleksikan lebih akurat apa yang disebut sebagai will of the electorate.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima