Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
DOKTER spesialis psikiatri Lahargo Kembaren mengatakan tindakan melukai diri sendiri (self harm) merupakan tanda darurat penderita depresi berat yang sesungguhnya meminta dan membutuhkan pertolongan lebih lanjut.
"Self harm itu adalah sebuah cry for help," kata Lahargo, yang merupakan anggota pengurus pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dalam sebuah webinar, dilansir Senin (12/9).
"Ketika orang berusaha melukai dirinya atau sampai dia melakukan tindakan bunuh diri, mereka sebenarnya sedang menangis minta tolong, di mana bantuan, di mana pertolongan, di mana pendampingan yang seharusnya bisa mereka dapatkan dalam hidup mereka," imbuhnya.
Baca juga: Overthinking Bisa Sebabkan Stres hingga Depresi
Lebih lanjut, Lahargo menjelaskan depresi yang berat bisa memicu seseorang memiliki pikiran dan perilaku melukai dirinya sendiri (self harm) serta keinginan untuk mengakhiri hidup atau pikiran tentang kematian (suicide).
Depresi, self harm, serta suicide saling berkaitan dan membentuk siklus yang seolah-olah tanpa ujung apabila seseorang tidak segera mendapatkan pertolongan dari profesional.
Lahargo mengatakan siklus bermula saat seseorang mengalami penderitaan emosional (emotional suffering) seperti stres hingga depresi. Jika seseorang tidak memiliki cara untuk mengatasi hal tersebut, beban mental emosional semakin bertumpuk hingga menyebabkan suatu kepanikan.
"Dan kalau seseorang sudah mengalami kepanikan secara psikologis, dia harus mencari exit plan, dia harus dengan cepat mengatasi kepanikan itu. Salah satu yang mungkin dia lakukan adalah self harm, dia seolah-olah tidak punya opsi yang lain," terangnya.
Ketika seseorang melukai diri sendiri, menurut Lahargo, hal itu akan timbul temporary relief atau perasaan ketenangan dan kenyamanan sesaat tetapi sesungguhnya tidak menjawab masalah yang sebenarnya sedang dihadapi.
"Ada zat kimia atau neurotransmitter yang kita sebut dopamin, di otak itu dia keluar. Dan itu menimbulkan ketenangan yang sesaat atau kita sebut temporary relief," ujarnya.
Siklus kemudian berlanjut dengan munculnya perasaan malu, bersalah, berdosa, bahkan kecewa. Hal itu, kata Lahargo, akan memperberat emotional suffering atau beban pikiran yang dirasakan.
"Dan siklus ini akan terus berputar apabila tidak ada pertolongan yang mereka kemudian dapatkan," ujar Lahargo.
Selain menyakiti diri sendiri, depresi juga berisiko menimbulkan keinginan untuk mengakhiri hidup pada penderita. Lahargo mengatakan keinginan bunuh diri terjadi karena tidak ada bantuan yang selama ini penderita harapkan.
"Seseorang yang melakukan bunuh diri, hanya ingin mengakhiri konflik yang mereka alami itu dengan cepat sehingga kita perlu memberikan bantuan ini dan perlu dengan komprehensif penanganan ini tentunya dilakukan," katanya.
Ia menggarisbawahi pentingnya penderita mendapatkan terapi untuk depresi dan pikiran bunuh diri melalui bantuan profesional kesehatan jiwa seperti psikiater, perawat jiwa, psikolog, serta pekerja sosial.
Sebelumnya, profesional nantinya akan melakukan pemeriksaan terhadap tanda dan gejala yang dialami penderita.
Sejumlah terapi yang dapat diberikan di antaranya termasuk mengatur pola hidup sehat, manajemen stres yang baik, serta support system atau dukungan dari keluarga, teman, dan komunitas.
Apabila diperlukan, terapi dapat pula berupa psikofarmaka seperti obat anti-depresan, psikoterapi, terapi stimulasi seperti penggunaan alat electro convulsive theraphy (ECT) dan transcranial magnetic stimulation (TMS), rehabilitasi psikososial, serta treatment-resistant depression.
"Ketika seseorang mengalami depresi atau bunuh diri, ada harapan untuk bisa pulih, berfungsi, dan produktif kembali. Jadi coba akseslah layanan-layanan ini agar depresi dan bunuh diri ini bisa teratasi," pungkas Lahargo. (Ant/OL-1)
Ibu baru membutuhkan kerja keras karena harus siap setiap saat untuk bayinya. Karena itu, ibu yang baru melahirkan membutuhkan dukungan dari suami dan anggota keluarga yang lain.
Prevalensi depresi tertinggi terjadi pada kelompok usia 15-24 tahun dengan sebanyak 2 persen yang didominasi dari latar belakang ekonomi bawah.
PERMASALAHAN judi online tidak hanya terkait perspektif ekonomi. Masalah ini juga terkait perspektif kesehatan mental hingga problem sosial.
Studi di Denmark menunjukkan orang dewasa yang sering pindah rumah saat kecil berisiko lebih tinggi mengalami depresi, dibandingkan yang tinggal di komunitas yang sama.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Network mengungkapkan bahwa sering menunda waktu makan malam dapat meningkatkan risiko seorang pekerja
Mindfulness ternyata berhubungan dengan peningkatan regulasi emosi, perhatian, dan pengendalian diri.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) meminta Polri merawat psikis anggota. Hal ini menyusul banyaknya anggota yang mengakhiri hidup dengan bunuh diri.
PAKAR psikologi forensik Reza Indragiri menyebut kasus bunuh diri dikalangan personel kepolisian memiliki tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat sipil.
Bripda NRN, ajudan Wakapolres Sorong, Papua Barat Daya, Kompol Emy Fenitiruma, bunuh diri pada Senin (15/7) sore. Pengawasan melekat harus diperkuat.
Indonesia Police Watch (IPW) menyoroti kasus dugaan bunuh diri Bripda NRN, ajudan Wakapolres Sorong, Papua Barat Daya, Kompol Emy Fenitiruma.
WARGA Kabupaten Kepahiang, Bengkulu, digemparkan dengan peristiwa tewasnya ibu dan bayi dengan kondisi sangat mengenaskan. Korban ibu ditemukan bersimbah darah dalam kamar mandi.
Psikolog Dicky Sugianto dari HatiPlong menyoroti masalah serius yang sering diabaikan terkait kesehatan mental pria.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved