Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Harus Ada Aturan terkait Netralitas Petahana dalam Pemilu

Andhika Prasetyo
23/4/2024 07:06
Harus Ada Aturan terkait Netralitas Petahana dalam Pemilu
Ilustrasi(Antara)

Dosen Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Meutia Irina Mukhlis menilai perlu adanya aturan pemilu tentang perilaku pejabat petahana. Aturan itu diperlukan sebagai solusi jangka pendek demi menjaga kualitas dan netralitas pemilu.

"Pertama, untuk jangka pendek, kita perlu memperjelas lagi aturan pemilu tentang perilaku pejabat petahana demi menjaga kualitas dan netralitas pemilu dan demokrasi di masa mendatang," kata Meutia dalam keterangan tertulis, Senin (22/4).

Pandangan itu ia sampaikan sebagai tanggapan pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024, di Jakarta, Senin. MK menyebut yang mengatakan dukungan (endorsement) Presiden Joko Widodo terhadap pasangan calon tertentu bukan tindakan melanggar hukum, namun dapat menjadi dianggap bermasalah secara etik.

Baca juga : Pascaputusan Sengketa Pilpres, Anies Baswedan: Koalisi Perubahan sudah Selesai

Adapun solusi jangka panjang, lanjut dia, dibutuhkan perubahan dalam tataran kesadaran moral untuk tidak menolerir praktik-praktik kecurangan hingga korupsi dalam kehidupan sehari-hari.

"Kedua, pada saat yang sama, pejabat petahana harus juga mau mengubah budaya kita yang cenderung toleran terhadap praktik korupsi atau kecurangan agar karakter budaya kita dan masyarakat Indonesia bisa disembuhkan dari penyakit ini dan menjadi lebih baik lagi di masa depan. Agar kesadaran moral kita lebih baik lagi di masa depan. Ini adalah misi bangsa kita pada jangka panjang," jelasnya.

Sebelumnya, MK saat sidang pembacaan putusan PHPU Pilpres 2024 yang diajukan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Senin, menyatakan dukungan (endorsement) dari Presiden terhadap pasangan calon tertentu bukan tindakan melanggar hukum, namun dapat dianggap bermasalah secara etika.

Baca juga : Publik: MK Harus Adil dalam Putusan Sengketa Pilpres

"Dari sisi hukum positif mengenai pemilu, saat ini, pola  komunikasi pemasaranjuru kampanye yang melekatkan citra dirinya kepada kandidat/paslon tertentu, bukanlah tindakan yang melanggar hukum. Namun, endorsement atau perlekatan citra diri demikian sebagai bagian dari teknik komunikasi persuasif, potensial menjadi masalah etika manakala dilakukan oleh seorang presiden yang notabene dirinya mewakili entitas negara, di mana seharusnya presiden bersangkutan berpikir, bersikap, dan bertindak netral," kata Hakim MK Ridwan Mansyur.

Dia mengatakan MK memandang mutlak diperlukan kerelaan presiden petahana untuk menahan/membatasi diri dari penampilan di muka umum yang dapat diasosiasikan/dipersepsikan oleh masyarakat sebagai dukungan bagi salah satu kandidat atau pasangan calon dalam pemilu.

"Mahkamah tidak menemukan landasan hukum untuk dilakukan tindakan terkait dengan ketidaknetralan Presiden yang mengakibatkan keuntungan bagi pihak terkait. Sekali lagi
karena tolok ukur atau parameter ketidaknetralan Presiden dalam pemilu termasuk wilayah etik belum diatur tegas dalam peraturan perundang-undangan," imbuhnya.

MK dalam sidang sengketa Pilpres 2024 memutuskan menolak seluruh permohonan yang diajukan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo-Mahfud Md dalam perkara sengketa PHPU Pilpres 2024. 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika
Berita Lainnya