Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
EKSPRESI seperti apa yang mesti kita tunjukkan terkait dengan penanganan kasus Harun Masiku hari-hari ini? Tetap geregetan, kecewa, kesal, sedih, senang, atau senang berbaur sedih?
Pengusutan perkara Masiku memang membuat orang geregetan. Ketidakjelasan dalam penuntasan kasus itu menyedihkan, menyebalkan, dan pasti mengecewakan. Ada tanya besar, sangat besar, kenapa Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK yang dikenal jago dalam memburu DPO tetiba loyo. Mereka seolah lesu darah dan seakan hilang keberanian.
Masiku adalah satu dari empat tersangka dalam kasus korupsi pemberian suap di Komisi Pemilihan Umum atau KPU. Sekadar untuk menghidupkan memori, duit haram itu diberikan kepada bekas komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait dengan penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024.
Selain Masiku yang politikus PDI Perjuangan dan Wahyu, KPK juga menetapkan orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina, dan pihak swasta bernama Saeful sebagai tersangka. Tiga nama terakhir sudah divonis, telah menghuni kamar berjeruji besi, bahkan sudah bebas kembali. Sebaliknya, Masiku hilang bak ditelan bumi, buron hingga kini, tak juga bisa ditemukan meski sudah empat tahun lebih konon dicari-cari.
Selama itu pula, pihak lain yang diduga punya peran penting dalam kasus tersebut tak tersentuh. Dia bebas-bebas saja, bisa melenggang semaunya, karena memangku kuasa dan sangat dekat dengan penguasa.
Sudah sangat lama publik, termasuk saya, menganggap KPK serasa kehilangan daya. Mereka yang selama ini dikenal berani seperti melunglaikan diri. Janji untuk segera menangkap Masiku kerap terucap sekerap pengingkarannya. Saking kerapnya janji-janji itu nihil realisasi, kepercayaan sebagian rakyat, termasuk saya, nyaris habis bahwa KPK mau menuntaskan kasus Masiku.
Maka, ketika KPK belakangan ini ngegas mengusut perkara itu, perasaan saya biasa-biasa saja. Kali ini, KPK berani dengan memeriksa Hasto Kristiyanto. Hasto adalah Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, partai pemenang dalam tiga pemilu terakhir. Sebagai sekjen partai utama koalisi kekuasaan Presiden Jokowi selama dua periode, dia jelas bukan orang biasa. Dia orang penting. Dia orang yang menyandang kuasa.
Hasto disebut-sebut tersangkut dalam kasus Masiku. Karena ketersangkutannya pula, KPK dianggap tak berdaya. Kalau kemudian KPK tiba-tiba punya nyali memeriksa Hasto sebagai saksi, membiarkannya sendirian hingga 2,5 jam kedinginan di ruang pemeriksaan, banyak kalangan yang juga menganggapnya wajar saja.
Wajar karena posisi Hasto sudah berbeda. Dia akhirnya diperiksa diduga karena tidak lagi berada di barisan penguasa. Dia akhirnya dimintai keterangan, HP-nya disita, lantaran belakangan keras mengkritik kekuasaan.
Pemeriksaan terhadap Hasto memang langkah maju. Bolehlah itu membuat senang para pihak yang sejak lama menginginkan agar kasus Masiku menjadi terang benderang. Tebersit pula harapan akan segera ditangkapnya Masiku.
Jika KPK memeriksa Hasto semata atas dasar niat dan kemauan untuk selekasnya menyelesaikan kasus Masiku, kita layak bungah. Namun, jika gerak mereka sekadar gimik atau karena pengaruh politik, tentu kita makin sedih. Sedih bukan karena Hasto akhirnya berurusan dengan KPK, melainkan lantaran dugaan KPK menjadi alat penguasa kian terkonfirmasi.
Hukum akan mendatangkan manfaat luar biasa jika dijalankan semata pada pertimbangan dan alasan hukum. Sebaliknya, hukum bakal menyebabkan kerusakan tiada tara jika menjadi alat politik, tunduk pada penetrasi politik.
Bahwa KPK beralih fungsi menjadi alat politik, itu kekhawatiran yang belakangan kian mencemaskan. Bahwa KPK berubah peran sebagai alat penguasa, itu dugaan yang tak bisa diabaikan begitu saja. Tugas KPK untuk menjawabnya bahwa mereka betul-betul institusi hukum yang setiap napasnya bergantung pada hukum, bukan yang lain.
Rakyat, termasuk saya, tak lagi butuh kata-kata manis, janji-janji indah, dari KPK. Pernyataan komisioner KPK bahwa Masiku akan ditangkap dalam waktu sepekan ialah sesumbar usang. Yang kita inginkan hanyalah bukti nyata Masiku ditangkap, dipertontonkan di depan khalayak, dan pihak-pihak lain yang terlibat ditindak.
Sesimpel itu, semudah itu. Menangkap Masiku pun kiranya bukan perkara sulit, urusan yang mudah. Yang penting ada kemauan, soal kemampuan tak usah diragukan.
Buya Hamka pernah bilang, ''Puncak dari segala keberanian yaitu berani melakukan tindakan untuk menegakkan suatu bentuk keadilan meskipun tentang kepentingan pribadi.”
Keberanian KPK sedang diuji. Kendati tak semenggebu dulu, meski sudah berkali-kali kecewa hati, publik masih menanti penuntasan kasus Masiku. Pemeriksaan Hasto mudah-mudahan bukan gimik, bukan pula sekuel dari drama politik. Menangkap Masiku selekasnya, semoga bukan janji-janji palsu. KPK harus membuktikan itu. Maukah?
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved