Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
PERDEBATAN soal Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) masih terus mencuat di perbincangan, baik di kalangan elite maupun masyarakat luas. Kekagetan publik setelah tiba-tiba muncul beleid yang 'memaksa' kaum pekerja untuk mengiur tabungan perumahan sampai kini juga belum reda.
Sebagian besar perbincangan itu berisi penolakan. Hanya sedikit pihak yang bisa menerima. Namun, tulisan ini tidak ingin membahas detail substansi dari polemik Tapera tersebut. Biarlah perdebatan itu menjadi diskursus sekaligus saluran partisipasi publik guna mengontrol kebijakan atau aturan pemerintah yang memang terkadang kelewatan.
Kalau kita tarik ke belakang dan dalam perspektif yang lebih luas, kekisruhan Tapera sesungguhnya merupakan buah dari minimnya perhatian negara terhadap sektor papan alias perumahan. Sektor itu entah kenapa selalu menjadi fokus nomor sekian di belakang bidang-bidang lain seperti di pangan, energi, pendidikan, dan kesehatan.
Kemauan politik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan hunian sehat dan terjangkau melalui penguatan di sisi kebijakan sektor perumahan nyaris tak terlihat. Ada, tapi tidak seheboh sektor lain. 'B aja' kalau kata anak muda sekarang. Artinya biasa saja alias ala kadarnya.
Apa buktinya? Mari kita lihat dari sisi politik anggarannya. Pada APBN 2024, pemerintah hanya mengalokasikan anggaran subsidi perumahan, yaitu dana pembiayaan KPR subsidi melalui skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), sebesar Rp13,7 triliun atau cuma 0,42% dari total belanja APBN 2024 sebesar Rp3.235 triliun. Kecil sekali.
Sekecil apa itu, coba kita bandingkan dengan anggaran di sektor lain. Dengan anggaran pendidikan yang mencapai Rp665 triliun (20% APBN), misalnya, anggaran subsidi rumah itu hanya sekitar 2% alias seperlima puluhnya. Hampir sama juga kalau kita bandingkan dengan anggaran perlindungan sosial sebesar Rp496 triliun, dana subsidi rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) itu hanya secuil.
Bahkan, dengan anggaran untuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, yang cuma membangun satu kawasan, yang tahun ini dialokasikan sebesar Rp40,6 triliun, anggaran perumahan tidak sampai sepertiganya. Dari gambaran itu, suka tidak suka, ya, harus diakui pemerintah memang tidak terlalu menganggap sektor tersebut penting.
Program Tapera yang menghimpun dana masyarakat untuk membiayai pemenuhan perumahan rakyat barangkali bagus sebagai solusi dari keterbatasan anggaran dari negara itu. Namun, itu bukan solusi yang fair buat masyarakat. Pemerintah yang ogah-ogahan menggelontorkan anggaran besar untuk pembiayaan perumahan, kok, jadi masyarakat yang disuruh menabung untuk menambal keogahan itu?
Jadi, mesti dipahami bahwa terlepas dari tujuan dan niat baik di balik penerapan Tapera, ada problem perihal keseriusan pemerintah mengakselerasi penyelesaian backlog (kesenjangan ketersediaan) rumah. Masalah keseriusan itu yang mestinya dibereskan dulu. Bukan malah dengan gampangnya mengalihkan sekaligus membebankan tanggung jawab itu ke masyarakat melalui Tapera.
Dahulu, Bung Hatta sudah mewanti-wanti, "Cita-cita untuk terselenggaranya kebutuhan perumahan rakyat bukan mustahil apabila kita sungguh-sungguh mau dengan penuh kepercayaan. Semua pasti bisa." Kalimat itu disampaikan sang proklamator saat membuka Kongres Perumahan Rakyat Sehat, 25 Agustus 1950.
Bung Hatta sudah tahu bahwa satu-satunya jalan untuk bisa memenuhi kebutuhan rumah bagi seluruh rakyat ialah kesungguhan dari semua pihak, terutama penyelenggara negara. Itu terbukti sekarang, minimnya kesungguhan membuat cita-cita itu menjadi nyaris mustahil digapai.
Momentum dari polemik soal Tapera itu semestinya membuat pemerintah tersadar bahwa mereka telah jauh meninggalkan sektor perumahan. Kekisruhan Tapera seharusnya membuka mata pemerintah, tidak selayaknya sektor tersebut dianggap sekadar remah yang bisa dimasukkan daftar prioritas pembangunan di urutan paling belakang atau malah tidak diprioritaskan.
Pemerintah justru harus menggenjot ketahanan papan. Langkah awalnya dengan menguatkan politik perumahan, baik kelembagaan maupun penganggarannya. Jika sektor papan sudah memiliki ketahanan, percayalah, pemerintah akan lebih mudah menuntaskan mimpi bangsa ini menjadi negara maju atau menggapai Indonesia emas pada 2045.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved