Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Pemilu dan Kepercayaan

Abdul Kohar, Dewan Redaksi Media Group
20/3/2024 05:05
Pemilu dan Kepercayaan
(MI/EBET)

DEMOKRASI tanpa kepercayaan ibarat raga tanpa jiwa. Seolah hidup, tapi hakikatnya mati. Demokrasi yang dijalankan tanpa kepercayaan membuat ia sekadar ornamen, tanpa substansi.

Begitu juga, instrumen demokrasi yang dijalankan tanpa mendapat kepercayaan publik akan dipandang sebagai alat penggugur kewajiban saja. Karena aturannya harus ada instrumen itu, ya terpaksa harus diadakan. Kepercayaan ialah syarat mutlak legitimasi.

Tantangan seperti itulah yang dihadapi penyelenggara Pemilu 2024 ini. Mereka menghadapi situasi penuh ketidakpercayaan, bahkan kecurigaan secara bertubi-tubi. Sebagian besar karena mereka gagal menjelaskan secara terbuka kepada publik berbagai keganjilan, mulai aturan yang berubah-ubah, sistem yang kacau, hingga wasit yang seperti tidak menggenggam peluit dan kartu peringatan.

Dugaan kecurigaan kian menjadi-jadi terutama setelah Sistem Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) dijalankan dengan sangat amburadul. Muncullah dugaan sistem itu sengaja dibuat begitu. Ada kecurigaan suara mereka sudah dikunci di angka tertentu sehingga tidak berkembang lagi, hingga dugaan penggelembungan suara pihak tertentu.

Celakanya, penyelenggara pemilu tidak mampu menjawab berbagai kecurigaan dan tudingan dengan komunikasi yang memadai. Jawaban yang muncul malah memantik kecurigaan baru bahwa ada hal yang disembunyikan. Ketidakpercayaan juga menghinggapi wasit pemilu yang tidak kunjung meniup peluit kendati menyaksikan pelanggaran secara nyata di depan mata. Bahkan, tanpa bantuan VAR (video assistant referee) pun sudah nyata bahwa itu pelanggaran.

Saya jadi 'cemburu' kepada penyelenggaraan Pemilu 1955, pemilu pertama di Tanah Air. Ketika itu belum ada teknologi secanggih saat ini. Kala itu juga belum ada lembaga pengawas pemilu seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saat ini. Namun, pemilu berjalan lancar. Tidak banyak yang berteriak curang karena memang tidak banyak ditemukan kecurangan.

Pada pelaksanaan pemilu pertama itu juga belum dikenal istilah pengawasan pemilu. Mengapa pemilu tidak bergejolak? Karena pada era tersebut terbangun trust di seluruh peserta dan warga negara tentang penyelenggaraan pemilu yang dimaksudkan untuk membentuk lembaga parlemen yang saat itu disebut sebagai Konstituante.

Walaupun pertentangan ideologi pada saat itu cukup kuat, dapat dikatakan pemilu berlangsung dengan sangat minim kecurangan. Kalaupun ada gesekan, itu terjadi di luar wilayah pelaksanaan pemilu. Gesekan merupakan konsekuensi logis pertarungan ideologi pada saat itu. Hingga saat ini masih muncul keyakinan bahwa Pemilu 1955 merupakan pemilu di Indonesia yang paling ideal.

Kelembagaan pengawas pemilu baru muncul pada pelaksanaan Pemilu 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu. Pada saat itu sudah mulai muncul distrust terhadap pelaksanaan pemilu yang mulai dikooptasi kekuatan rezim penguasa. Pembentukan Panwaslak Pemilu dilatari protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara oleh petugas pemilu pada Pemilu 1971.

Karena pelanggaran dan kecurangan pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh lebih masif, protes-protes itu lantas direspons pemerintah dan DPR yang didominasi Golkar dan ABRI. Akhirnya muncullah gagasan memperbaiki undang-undang yang bertujuan meningkatkan 'kualitas' Pemilu 1982.

Demi memenuhi tuntutan PPP dan PDI, pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta pemilu ke dalam kepanitiaan pemilu. Pemerintah juga mengintroduksi badan baru yang akan terlibat dalam urusan pemilu untuk mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU).

Sejak saat itu, sistem pemilu dicoba ditata. Namun, sekaligus mulai menumbuhkan benih-benih ketidakpercayaan. Padahal, kepercayaanlah yang membuat pemilu berlangsung ideal. Pemilu sebagai salah satu aspek demokrasi juga harus diselenggarakan secara demokratis sehingga bukan sekadar lambang, melainkan juga kompetitif, berkala, inklusif dan definitif.

Setidaknya terdapat tiga hal yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menilai apakah pemilu diselenggarakan secara demokratis atau tidak. Pertama, ada-tidaknya pengakuan, perlindungan, dan pemupukan. Kedua, terdapat persaingan yang adil dari peserta pemilu. Ketiga, terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang menghasilkan pemerintahan yang legitimate.

Begitulah. Ada relasi yang amat erat antara kepercayaan dan legitimasi. Tanpa kepercayaan, bisa tipis legitimasi. Semakin tebal ketidakpercayaan, semakin tipis legitimasi. Pemilu 2024 kiranya jadi pemilu paling banyak memantik kecurigaan. Apakah berarti pemilu kali ini paling tipis legitimasi?



Berita Lainnya
  • Kaya sebelum Tua

    01/8/2024 05:00

    JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.

  • Kisah kian Resah Kelas Menengah

    31/7/2024 05:00

    ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.

  • Tambang Berkemajuan

    30/7/2024 05:00

    DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.

  • Pensiunan Agung

    29/7/2024 05:00

    “APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.

  • Resah Gongahwah

    27/7/2024 05:00

    SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.

  • Jangan Panggil Dia Profesor

    26/7/2024 05:00

    WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.  

  • Antara Miskin dan Bahagia

    25/7/2024 05:00

    SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta

  • Horor Guru Honor

    24/7/2024 05:00

    SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran

  • Welcome Kamala Harris

    23/7/2024 05:00

    Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.

  • Lucu-Lucu Mobil Dinas

    22/7/2024 05:00

    HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.

  • Ma’ Olle Salamet Tengka Salana

    20/7/2024 05:00

    ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu

  • Menyoal Rencana Asuransi Mobil Motor

    19/7/2024 05:00

    TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya

  • Kamar Reyot Senator

    18/7/2024 05:00

    DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.

  • Jiwa Besar

    17/7/2024 05:00

    BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.

  • Kemerdekaan Hakim Eman

    16/7/2024 05:00

    Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).

  • Dokter di Balik Harga Obat Mahal

    15/7/2024 05:00

    INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.