Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
FENOMENA puting beliung dahsyat melanda sebagian wilayah Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada Rabu (21/2) lalu. Angin yang berputar hebat, yang diperkirakan turun dari kumpulan awan hitam di langit, menggulung benda-benda termasuk bangunan yang dilewatinya.
Saking dahsyatnya, fenomena itu bahkan memunculkan dua pendapat ahli. Pakar dari BRIN Erma Yulihastin menggolongkannya sebagai tornado, dengan alasan angin itu berkecepatan di atas 65 km per jam. Menurutnya, ini masuk kategori tornado Skala Fujita di level 0. Radius putaran anginnya juga lebih dari 2 kilometer, sedangkan radius putar puting beliung biasanya kurang dari itu.
BMKG berpandangan lain. Mereka kukuh pada pendapat bahwa itu bukan tornado, meskipun memang level kekuatannya lebih besar daripada puting beliung biasa. BMKG juga menyebut Indonesia tidak mengenal istilah tornado. Maka, dengan kekuatan fenomena di Sumedang dan Bandung itu, BMKG mengategorikannya sebagai 'cuaca ekstrem puting beliung'.
Apa pun nama atau sebutannya, yang pasti angin raksasa yang berputar menyerupai gasing dengan kekuatan sedahsyat itu adalah fenomena yang tak biasa di Tanah Air. Bahkan, menurut Erma, tornado yang terjadi di Bandung dan Sumedang merupakan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Itu bisa menjadi pertanda alam bahwa kondisi Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja.
Saya tidak sedang coba mengait-ngaitkan, tetapi fenomena puting beliung dengan kekuatan yang besar kiranya juga tengah melanda jagat perpolitikan nasional. Tentu saja ini hanya metafora. Akan tetapi, bila melihat situasi politik Indonesia akhir-akhir ini, frasa ‘puting beliung’ rasanya tidak berlebihan dipakai sebagai personifikasi dari kaum elite penguasa yang belakangan suka main hantam dan terjang.
Awan perpolitikan yang gelap telah menciptakan badai dan pusaran angin yang tanpa ampun meluluhlantakkan nalar dan etika demokrasi. Bangunan demokrasi yang bertahun-tahun dibangun dengan susah payah bertubi-tubi ditonjok oleh tangan-tangan kerusakan yang kekuatannya tak kalah dahsyat dengan tornado di Jawa Barat.
Miris memang, tetapi itulah yang terjadi di Republik ini, paling tidak sejak tahun lalu ketika mesin-mesin politik untuk menghadapi Pemilu 2024 mulai dihidupkan. Kalau cuma mesin yang dihidupkan sebetulnya masih wajar. Itu hal yang normal, suhu politik di tahun-tahun politik memang selalu bakal menghangat, bahkan memanas.
Namun, ketika kemudian yang dihidupkan tidak cuma mesin politik, tapi juga rekayasa-rekayasa politik yang kotor sekaligus niretika, di situlah kekacauan mulai muncul. Terlebih ketika angin rekayasa itu mulai menjangkau wilayah yang dianggap sebagai benteng konstitusi demi satu tujuan yang sejatinya melawan prinsip reformasi dan demokrasi, yaitu membangun politik dinasti dan nepotisme.
Berawal dari situ, puting beliung politik terus berputar. Kerusakan terus ditebar, termasuk dengan memproduksi kecurangan-kecurangan untuk memenangi kontestasi pemilu. Segala hal yang dianggap menghalangi atau menghambat, dihantam. Bahkan suara moral para guru besar dan sivitas akademika kampus yang mengingatkan demokrasi sedang menuju kerusakan karena masifnya kecurangan pemilu pun, tak digubris.
Puting beliung selama ini dinarasikan sebagai angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. Padahal sesungguhnya ialah angin ketamakan, angin kekemarukan yang sama sekali tidak menyegarkan. Ketika angin itu berputar, ada kepentingan kekuasaan yang diutamakan, tapi ada kepentingan pihak lain yang dibenamkan. Lebih parah lagi, ada kepentingan rakyat yang dikorbankan.
Pada akhirnya, keporakporandaan demokrasi mungkin tinggal menunggu waktu. Bahkan sebelum fase kerusakan itu kian memuncak di masa Pemilu 2024, The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam laporan bertajuk Age of Conflict, yang menganalisis indeks demokrasi 2023 secara global, juga sudah memberikan Indonesia nilai buruk.
Indonesia hanya menempati peringkat ke-56 dari 200 negara yang disurvei dengan skor 6,53 poin, turun dari 6,72 poin di tahun sebelumnya. Sejumlah pakar memprediksi skor itu bakal turun lagi jika survei dilakukan setelah karut-marut politik nasional yang terjadi belakangan ini.
Kita tentu tak mengharapkan kemungkinan terburuk itu terjadi. Demokrasi harus diselamatkan. Badai pasti berlalu, kata Berlian Hutauruk, dalam lagu berjudul sama yang diciptakan Eros Djarot. Begitu pun puting beliung politik, kita mesti percaya bakal pergi dan berlalu.
Etika, nurani, dan ikhtiar akan menjadi kunci. Semua elemen masyarakat, dari rakyat jelata, kalangan cendekia, pers, hingga partai politik, mesti terus mengawal proses pemerintahan di negeri ini tanpa sedikit pun menyisakan celah bagi petualang-petualang politik kotor meluluhlantakkan demokrasi.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved