Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
SOAL kepiawaian dan ketepatan dalam mendukung dan memilih kandidat di pilpres barangkali saya termasuk yang paling buruk. Dalam tiga pilpres terakhir, dukungan dan pilihan saya selalu gagal, senantiasa kalah.
Kegagalan pertama terjadi di Pilpres 2014. Ketika itu saya mendukung dan memilih Prabowo Subianto. Alasannya, saya tidak sreg dengan Joko Widodo karena persoalan etika. Bagi saya, Pak Jokowi kurang elok karena maju ke gelanggang kompetisi meski baru dua tahun mengemban amanah sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dia tinggal glanggang colong playu, meninggalkan begitu saja mandat rakyat Jakarta.
Bagi saya, Pak Jokowi juga kurang etis bertanding melawan Pak Prabowo. Sebab, Prabowolah yang mengusung dan ikut membiayai Jokowi berkontestasi di Pilgub DKI 2012. Sejarah pun mencatat, dalam pilpres, Jokowi mengalahkan Prabowo. Dia yang kurang elok, kurang etis setidaknya di mata saya, malah jadi pemenang.
Di Pilpres 2019, saya kembali memilih Prabowo. Soal etika masih menjadi salah satu pertimbangan kenapa tak juga mendukung Jokowi. Hasilnya, Jokowi menang lagi. Lagi-lagi saya gigit jari. Itulah kekalahan kedua di perhelatan pilpres.
Hasil buruk ternyata masih betah berada di samping saya. Hattrick kekalahan sudah di depan mata karena Prabowo yang kali ini tidak saya dukung malah di ambang kemenangan. Sebaliknya, capres pilihan saya sepertinya akan kalah.
Saya tak lagi mendukung Prabowo juga lantaran masalah etik. Bagi saya, dia tak elok ketika malah bergabung dengan pemerintahan Jokowi. Dia mestinya istikamah menjadi oposisi sebagai calon yang kalah. Lagi pula, kali ini saya merasa ada capres yang lebih baik, lebih menjanjikan.
Apalagi, ketika Prabowo menggandeng Gibran, putra Jokowi yang baru dua tahun lebih menjadi Wali Kota Solo. Yang katanya dulu tak tertarik politik, nyatanya terjun ke politik. Yang pernah bilang tegak lurus kepada ketua umum PDIP, tapi berpaling dari keputusan partai. Lebih-lebih Gibran bisa nyawapres karena hukum diutak-atik di Mahkamah Konstitusi.
Hasil quick count semua lembaga survei menunjukkan Prabowo terlalu dominan, di luar perkiraan. Raihan suara di rentang 57%-60% ialah pertanda dia akan menjadi presiden ke-8 RI. Data bicara, hasil hitung cepat selalu beti, beda-beda tipis, dengan penghitungan KPU. Sepertinya saya akan kalah lagi. Sebagai prediktor, saya lagi-lagi gagal.
Kecewakah saya? Banget. Itu pula yang kiranya dirasakan oleh puluhan juta rakyat Indonesia yang tidak memilih Prabowo. Pun dengan para aktivis, pegiat demokrasi, guru besar, sivitas akademika. Mereka kecewa karena kandidat terkuat juara ialah pasangan yang bermasalah dengan etika. Mereka kecewa sebab pemenang kompetisi demokrasi ialah paslon yang diyakini kental dengan cara-cara yang merusak demokrasi.
Tidak perlu kita berpanjang-panjang lagi ihwal cacat etika pasangan Prabowo-Gibran. Diputuskannya ketua MK yang juga paman Gibran, Anwar Usman, bersalah dalam pelanggaran etik berat lalu dipecat ialah bukti tak terbantahkan. Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu bahwa pimpinan KPU melanggar etika karena menerima pendaftaran Gibran selepas putusan aneh bin ajaib MK adalah penegasan yang sulit dikesampingkan.
Bahwa proses pencalonan Gibran sebagai cawapres bersalah dan berseberangan dengan semangat demokrasi, itu yang lantang disuarakan banyak kalangan. Bahwa kemenangan Prabowo-Gibran menjadi duka bagi demokrasi, itulah nyanyian keprihatinan pengiring derap hitung cepat. Tagar RIP Demokrasi trending di platform X.
Untuk kali ketiga saya kalah. Menyesalkah? Sorry yee. Tidak. Saya tidak menyesal telah membuat pilihan. Demikian pula kiranya para aktivis dan pegiat demokrasi, guru besar, sivitas akademika, ataupun para pihak penentang pembusukan demokrasi. Mereka kecewa, tapi juga bangga telah berdiri di barisan perawat demokrasi.
Mereka layak menepuk dada karena gigih melawan petualang politik penoda reformasi. Memang, suara lantang mereka masih terlalu lirih bagi rakyat, apalagi elite, yang telinganya tersumbat. Betul, idealisme mereka tenggelam oleh hingar bingar gimik yang tak mendidik.
Akan tetapi, kepada mereka kita masih bisa menggantungkan asa agar pesan Presiden ke-2 Amerika, John Adams, tentang kerapuhan demokrasi tak terjadi. Menurutnya, ''Ingat, demokrasi tak pernah bertahan lama. Ia segera menjadi sia-sia, kehabisan tenaga, dan mematikan dirinya sendiri. Belum pernah ada demokrasi yang tidak melakukan bunuh diri.''
Kita, termasuk saya, patut berterima kasih kepada mereka, para pejuang demokrasi. Perjuangan memang belum usai. Semangat untuk membongkar kecurangan gila-gilaan di pilpres pantang lunglai. Namun, kalau akhirnya benar-benar kalah, jerih payah mereka tetap tak ternilai.
Benar kata penulis Naomi Klein bahwa demokrasi bukan hanya hak untuk memilih, melainkan juga hak untuk hidup bermartabat. Dalam pemilihan, boleh saja kontenstan yang dikaitkan dengan pelanggaran etika berjaya. Namun, demokrasi bukan sekadar kalah dan menang. Ia lebih dari itu.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved