Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Tonga Hadapi Risiko Perubahan Iklim, Penduduk Tetap Setia Bertahan

Atikah Ishmah Winahyu
20/1/2022 10:59
Tonga Hadapi Risiko Perubahan Iklim, Penduduk Tetap Setia Bertahan
Ilustrasi Tonga(AFP PHOTO / European Union)

BAGI negara kepulauan Pasifik Selatan, Tonga, tsunami yang ditimbulkan oleh letusan gunung berapi pada Sabtu (15/1) lalu mengungkapkan beberapa cara bahwa perubahan iklim mengancam keberadaan pulau-pulau itu.

Dengan peningkatan suhu dan kenaikan permukaan laut, perubahan iklim kemungkinan akan memperburuk bencana yang ditimbulkan oleh tsunami, gelombang badai, dan gelombang panas, menurut para ahli.

Sangat menyadari risiko ini, Tonga telah menjadi suara kunci yang mewakili negara-negara yang rentan terhadap iklim, mengatakan pada pembicaraan iklim PBB pada bulan November bahwa pemanasan global di luar ambang batas 1,5 derajat celcius akan menjadi bencana mutlak bagi Tonga dan Kepulauan Pasifik lainnya sebagaimana mereka tenggelam oleh tingginya air laut.

Permohonan mereka untuk tindakan iklim global sangat mendesak, mengingat negara-negara kepulauan Pasifik hanya menyumbang 0,03% dari emisi karbon global, menurut Bank Dunia.

"Sementara kami tangguh dan mencoba beradaptasi, hanya dibutuhkan beberapa meter tambahan air untuk menutupi rumah, untuk membunuh seorang anak atau keluarga," kata Shairana Ali, CEO badan amal internasional Save the Children, di negara tetangga Fiji.

Tonga melaporkan bahwa gelombang setinggi 15 meter menghantam pantai di pulau-pulau terluarnya setelah letusan gunung berapi Sabtu (16/1), meratakan rumah-rumah dan menewaskan sedikitnya tiga orang. Letusan tersebut memicu peringatan tsunami di seluruh Pasifik.

Karena permukaan laut terus meningkat dalam beberapa dekade mendatang, tsunami dan gelombang badai kemungkinan akan mencapai lebih jauh ke pedalaman dengan risiko kerusakan yang lebih besar. "Gelombang tsunami dan gelombang badai berada di atas permukaan laut," kata Benjamin Horton, yang telah mempelajari kenaikan permukaan laut global dan kepala Observatorium Bumi Singapura. “Jadi dengan laut yang lebih tinggi, Anda tidak memerlukan bencana alam sebesar itu untuk menyebabkan kehancuran yang meluas,” imbuhnya.

Permukaan laut di sekitar negara kepulauan berpenduduk 105.000 orang itu meningkat sekitar 6 mm per tahun, hampir dua kali lipat rata-rata tingkat global, menurut Sistem Pengamatan Permukaan Laut Global PBB.

Ini karena pulau-pulau itu berada di perairan yang lebih hangat di dekat khatulistiwa, di mana kenaikan permukaan laut lebih menonjol daripada di kutub.

Kerusakan akibat tsunami dan gelombang badai tidak berhenti pada penghancuran gelombang. Air laut yang hanyut ke darat dapat mencemari tanah pertanian dan membuatnya tidak berguna selama bertahun-tahun.

Gelombang tsunami juga memperburuk erosi pantai dan menghancurkan penyangga alami terhadap naiknya air laut, seperti terumbu karang dan bakau.

Dengan perubahan iklim yang menghangatkan permukaan laut, gelombang badai seperti itu lebih mungkin terjadi karena air hangat memicu topan yang semakin kuat.

Tonga dan negara-negara tetangga dilanda dua topan kategori lima dalam empat tahun terakhir, yang mengakibatkan kerusakan sebesar ratusan juta dolar.

Suhu yang lebih panas
Suhu Tonga sudah meningkat, dengan suhu rata-rata harian sekarang 0,6 derajat C lebih tinggi daripada tahun 1979. Frekuensi siang hari yang panas dan malam hari yang panas telah meningkat di seluruh Pasifik.

Pemanasan yang terus berlanjut kemungkinan akan membuat tanah lebih kering karena suhu tinggi menyebabkan lebih banyak penguapan dan memengaruhi pola curah hujan regional, menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB.

Negara itu kemungkinan akan mengalami lebih banyak gelombang panas dalam beberapa dekade mendatang, dengan suhu yang sering kali menembus 35 derajat C, menurut laporan tersebut. Panas yang ekstrem itu bisa sangat berbahaya bila dikombinasikan dengan kelembapan tropis.

Air laut juga memanas, tiga kali lipat dari rata-rata global, menurut data Organisasi Meteorologi Dunia. Dan gelombang panas laut, yang dapat membunuh ikan dan karang, menjadi lebih sering, lebih intens, dan bertahan lebih lama di sebagian besar Samudra Pasifik.

Tonga sendiri melihat gumpalan besar panas laut terbentuk di tenggara pulau-pulaunya pada Januari 2020, dengan suhu air permukaan mencapai 6 derajat C di atas rata-rata untuk bulan itu.

Membangun kembali atau melanjutkan?
Penduduk Kepulauan Pasifik diperkirakan akan menjadi salah satu kelompok pertama pengungsi iklim global, karena dampak perubahan iklim mendorong mereka keluar dari tanah air mereka.

"Mungkin pada akhirnya akan seperti itu. Tapi saya harap tidak," kata Josephine Latu-Sanft, orang Tonga yang sekarang tinggal di London dan bekerja sebagai komunikator iklim.

"Orang-orang tidak mau pindah,” tambahnya.

Orang Tonga telah membangun kembali perkampungan mereka dua kali dalam beberapa tahun terakhir, setelah Topan Gita pada tahun 2018, dan sekali lagi setelah Topan Harold pada tahun 2020. "Orang Tonga sangat tangguh, dan enggan meninggalkan pulau-pulau itu meskipun ada risiko,” kata Latu-Sanft. "Kami telah tinggal di sana selama berabad-abad. Akar dan identitas kami ada di darat dan di laut,” tandasnya. (Straitstimes/OL-12)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Retno Hemawati
Berita Lainnya