Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
BELUM lama ini, sejumlah media membahas harga obat di Indonesia yang disebut beberapa kali lebih mahal daripada harga di Malaysia. Memang, untuk jenis obat paten/originator, harga di negara kita lebih mahal. Tapi, di Indonesia tersedia pilihan jenis obat lain yang lebih terjangkau, yaitu obat generik bermerek dan obat generik, dengan kualitas setara obat originatornya.
“Hasil pemeriksaan ulang IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) bekerja sama dengan MPS (Malaysia Pharmaceutical Society), untuk obat paten atau originator, secara umum memang di Indonesia lebih mahal daripada Malaysia. Hal itu karena faktor perpajakan di negara kita, juga volume penggunaan obat paten di Malaysia yang lebih besar. Jumlah unit obat originator yang dijual di Malaysia rata-rata 2-3 kali lebih besar secara volume daripada di Indonesia. Volume yang besar ini membuat harga di Malaysia menjadi lebih murah daripada di Indonesia,” terang Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) IAI, Noffendri Roestam, di Jakarta, Kamis (26/7/2024).
Meski demikian, lanjut Neffendri, masyarakat Indonesia tetap memiliki akses terhadap obat yang terjangkau karena ketersediaan obat generik dengan harga jauh lebih murah. “Setelah kami bandingkan antara harga obat paten di Malaysia dengan harga obat generik bermerek di Indonesia, harga obat di Indonesia jauh lebih murah. Apalagi jika dibandingkan dengan obat generik ataupun obat JKN (Jaminan Kesehatan Nasional),” imbuh Noffendri.
Baca juga : Etana Jalin Kerja Sama Strategis dengan BeiGene untuk Obat Imunoterapi Kanker
Ia menjelaskan, obat paten atau sering disebut originator adalah obat yang memiliki perlindungan paten, pada umumnya 15-20 tahun. Obat ini memperoleh paten karena merupakan obat pertama yang ditemukan dan dilengkapi dengan uji klinis lengkap tahap satu hingga tiga.
Setelah masa paten habis, obat tersebut boleh ditiru dan diproduksi oleh produsen lain sebagai obat generik, baik obat generik bermerek maupun obat generik. Sesuai namanya, obat generik bermerek memiliki merek tertentu pada kemasannya, sedangkan obat generik hanya mencantumkan nama zat aktif obat. Ketiga jenis obat ini, obat paten, generik bermerek, dan obat generik, memiliki perbedaan harga yang signifikan.
“Harga obat generik bermerek jauh lebih murah daripada obat paten, diperkirakan sekitar 30-50% lebih rendah, dan harga obat generik jauh lebih murah lagi daripada obat generik bermerek. Meski demikian, obat generik memiliki kualitas produk yang setara dengan originatornya karena produksinya mengikuti standar internasional, GMP (Good Manufacturing Practises) atau dikenal sebagai CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan juga sudah diperiksa oleh Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan). Salah satu syarat izin edar obat yang ditetapkan Badan POM adalah uji bioekivalensi. Untuk memperoleh izin edar, sebuah obat generik harus memiliki uji bioekivalensi yang hasilnya menunjukkan jumlah obat yang terserap dan terbuang di dalam tubuh sama persis dengan obat originatornya,” papar Noffendri.
Baca juga : Obat Sebaiknya tidak Disimpan di Mobil
Indonesia memiliki sekitar 190 perusahaan farmasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan dan 20 perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA). Perusahaan farmasi PMA memegang hak memproduksi dan memasarkan obat yang masih dalam masa paten. Begitu masa patennya habis, sebagian besar pasarnya akan diambil alih oleh perusahaan PMDN melalui obat generiknya.
Saat ini, sebagian besar dari ketiga jenis obat tersebut tersedia dalam JKN dengan harga khusus. Harga obat JKN terbilang sangat murah, 93% dari kebutuhan tablet di bawah Rp500 per tablet, 77% dari kebutuhan obat sirop di bawah Rp5.000 per botol, dan 65% kebutuhan obat injeksi di bawah Rp2.000. Sebanyak 94,77% masyarakat Indonesia telah menjadi peserta JKN, akses mereka untuk memperoleh obat murah dan berkualitas bahkan gratis sudah terjamin melalui program pemerintah. Hal ini terlihat dari data penjualan obat di Indonesia, 81% obat yang beredar dan digunakan di Indonesia adalah obat generik dan obat generik bermerek.
“Masyarakat mempunyai kebebasan memilih obat yang sesuai dengan kemampuan ekonominya. Kami mendorong masyarakat untuk selalu berdiskusi dengan apoteker agar memilihkan obat generik yang sesuai sebagai langkah cepat mengurangi biaya obat. Kami juga mendorong masyarakat untuk mengikuti program JKN melalui BPJS Kesehatan agar mendapatkan pengobatan gratis,” pungkas Noffendri.
Baca juga : IPMG Dorong Percepatan Akses Obat-obatan, Vaksin Inovatif, dan Kemitraan
Sementara dari sisi distribusi, keberadaan Pedagang Besar Farmasi (PBF) sebagai salah satu mata rantai di rantai pasok produk farmasi sangatlah penting. Keberadaan PBF terlegitimasi melalui Permenkes No.30 Tahun 2017 tentang Pedagang Besar Farmasi. “Eksistensi PBF dalam menjaga mutu obat terkawal dengan adanya sertifikasi CDOB (Cara Distribusi Obat yang Baik) yang digawangi Badan POM. Sehingga, mutu produk kefarmasian mulai dari industri hingga ke fasilitas kesehatan terjaga dengan baik,” ujar Ketua Himpunan Seminat Farmasi Distribusi PP IAI, Hanky Febriandi, pada kesempatan sama.
Ia mengungkapkan, porsi biaya jasa PBF dalam komponen harga obat di Indonesia tidaklah signifikan, karena perolehan fee distribusi yang didapat dari produsen obat hanya berkisar 5-12%. “Fee tersebut diberikan dalam bentuk diskon pembelian. Artinya, harga yang ditawarkan ke fasilitas kesehatan adalah murni harga yang dipatok oleh industri. Adapun fee tersebut digunakan untuk biaya operasional, juga pengiriman.”
Bila PBF dihilangkan, lanjutnya, industri farmasi harus langsung berhubungan dengan konsumen, yaitu fasilitas kesehatan, yang jumlahnya mencapai puluhan ribu di seluruh Indonesia, termasuk di pelosok. “Hal ini akan berdampak pada biaya yang harus dikeluarkan oleh industri yang ujungnya dimasukkan dalam harga obat yang harus ditanggung masyarakat,” ujar Hanky. (B-1)
Harga obat yang tinggi di Indonesia terjadi karena 90% bahan baku obat masih impor
"Obat ketika pertama kali muncul disebut obat paten dan saat patennya habis, semua berubah namanya menjadi obat generik."
PT Kalbe Farma Tbk (Kalbe) meluncurkan obat kanker paru generik pertama di Indonesia, Erlotinib dan sudah tersedia di e-katalog Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) diminta untuk menyoroti isu terkait pengawet roti yang dianggap tidak sesuai standar.
Badan POM dan BRIN melakukan studi asesmen kesiapan BPOM untuk adopsi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Aturan anyar BPOM tersebut sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang bertujuan melindungi hak-hak konsumen, termasuk hak untuk mendapatkan informasi yang benar.
Desk Konsultasi Regulasi ini diadakan akan memudahkan pelaku usaha dalam mendapatkan informasi yang dibutuhkan serta memberikan kesempatan untuk konsultasi langsung dengan tim Badan POM.
Saat ini, banyak produk perawatan kecantikan dan kosmetik buatan dalam negeri yang berkualitas dan sudah dipastikan aman berdasarkan hasil pemeriksaan BPOM.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved