Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
DALAM praktik pengabdian masyarakat, dikenal istilah social hub yang berarti orang-orang yang mampu menghubungkan pemikiran yang dikembangkan di universitas dengan praktik keseharian di masyarakat (Ihsan & Sachari, 2015). Selain itu, ada pula istilah social lab yang lebih merujuk pada aktivitas orang pada tempat tersebut. Selayaknya laboratorium, konsep social lab memfokuskan diri pada bagaimana pengetahuan diproduksi lewat aneka upaya uji coba gagasan baru dari interaksi para intelektual dengan masyarakat dalam rangka menyelesaikan masalah.
Tulisan ini merupakan refleksi dari tim ITB dalam melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat 2021-2022 tentang desain dan konstruksi Arsitektur Terakota di Alun-Alun Desa Jatisura, Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Kegiatan ini dimaksudkan untuk merespons gerakan Kota Terakota yang diinisiasi komunitas seni Jatiwangi Art Factory (JAF) untuk mengangkat kembali harkat budaya tanah liat di kawasan ini yang telah terdisrupsi oleh aneka industri.
Gerakan Kota Terakota pada prinsipnya mendorong pembangunan sarana dan prasarana kota yang menggunakan aneka ragam produk terakota. Diversifikasi produk ini diharapkan mampu menghela produksi dan meningkatkan nilai produk dari usaha berbasis tanah liat di kawasan tersebut.
Dari riset yang telah dilaksanakan sebelumnya, ditemukan bahwa Gerakan Kota Terakota telah memberikan dampak bagi sebagian besar pengusaha terakota di Jatiwangi dan sekitarnya secara sosial, sebagai promosi akan budaya terakota. Namun, gerakan ini belum memberikan dampak ekonomi yang bisa menggerakkan aneka usaha diversifikasi produk terakota.
Berbasis temuan tersebut, arsitektur terakota di Alun-Alun Desa Jatisura dimaksudkan sebagai etalase dari aneka produk diversifikasi terakota. Tulisan ini pun merupakan bentuk diseminasi pengetahuan sebagai hasil refleksi praktik desain dan konstruksi, dengan Arsitektur Terakota di Alun-alun Desa Jatisura sebagai kasus studi.
Desain diawali dengan menerjemahkan ide Kota Terakota ke dalam bentuk arsitektural. Selayak umumnya proyek arsitektur, desain diawali dengan studi preseden penggunaan material terakota oleh beberapa arsitek kelas dunia.
Dari studi presedens ditemukan tiga cara penggunaan material terakota dalam arsitektur, yakni sebagai elemen struktur tekan, pembentuk bidang, dan elemen penutup dinding. Ditemukan juga tiga variasi eksplorasi bentuk yang mungkin dilakukan, yaitu rigid-plastis, opaque-transparent, dan tekstur halus-tekstur kasar.
Langkah berikutnya ialah memilih material dari beberapa studio yang mencoba memproduksi material terakota secara lebih inovatif. Setelah mengamati dan berdiskusi, dipilih tiga jenis material untuk diterapkan pada Arsitektur Terakota di Alun-Alun Desa Jatisura, yakni hollow-brick, tile 20x20, dan elemen paving dari limbah terakota. Ketiga jenis material ini dipilih karena pertimbangan konstruksi arsitektural dan potensi dampak ekonomi jika material tersebut dilihat dan diminati publik pengunjung Arsitektur Terakota.
Desain dilanjutkan dengan mengidentifikasi karakter Alun-Alun Desa Jatisura. Secara morfologi, alun-alun ini mempunyai kekhasan karena hanya punya satu sisi yang bisa diakses publik, yaitu sisi selatan yang menghadap balai desa.
Ketiga sisi lainnya dikelilingi bangunan sekolah dasar (SD). Di tengah alun-alun terdapat pohon beringin sebagai tengaran, yang juga menaungi bidang datar berbentuk panggung menghadap ke arah balai desa. Pada pagi hari alun-alun ramai oleh aktivitas luar ruang anak-anak SD, keteduhan pohon beringin akan menarik orang untuk duduk dan dikeliling penjaja makanan, pada sore hari alun-alun menjadi tempat olahraga, dan pada hari tertentu digunakan untuk salat hari raya, perhelatan menonton wayang, perayaan 17 Agustus, dan sebagainya. Oleh karena itu, desain dibuat dengan semangat menciptakan sesuatu yang menonjol, tetapi tidak mengganggu fungsi-fungsi itu.
Desain merupakan proses iteratif (bolak-balik), yakni iterasi pertama dilakukan dengan memfokuskan untuk menampilkan batu-bata sebagai elemen utama pada Arsitektur Terakota di Alun-Alun Desa Jatisura. Proses desain dilakukan lewat pengolahan bentuk dinding dengan mengartikulasikan garis-garis dari panggung untuk memperkuat keberadaan pohon beringin sebagai tengaran dan pusat orientasi, tiap sisi dinding diberikan fungsi yang berbeda-beda, salah satunya menjadi latar panggung.
Sisi dinding yang lain dirancang sebagai area menonton untuk kegiatan olahraga yang ada di sampingnya. Desain memang akan memberikan intervensi di alun-alun itu. Namun, aktivitas yang sudah ada diharapkan tetap berlangsung agar memori kolektif warga desa tetap terjaga (gambar 1).
Desain kemudian dimatangkan dalam iterasi selanjutnya dengan memperkuat karakter material terakota. Tiga cara penggunaan material terakota (elemen struktur tekan, pembentuk bidang, dan ornamen) lebih dieksplorasi untuk mendapatkan tiga variasi dalam tampilan desain: rigid-plastis, opaque-transparent, dan tekstur kasar–tekstur halus.
Pada tahap tersebut ditambahkan elemen duduk bertingkat yang merepresentasikan material terakota sebagai elemen struktur tekan, dinding batu bata, dan hollow-brick sebagai pembentuk bidang, dan tile sebagai elemen penutup dinding. Perbaikan signifikan dari desain sebelumnya ialah paving-block yang dibuat rata agar tidak menghalangi aktivitas olahraga dan penghilangan elemen lampu karena pertimbangan perawatan (gambar 2).
Secara umum, desain arsitektur terakota di Alun-Alun Desa Jatisura diartikulasikan sebagai etalase aneka produk terakota di Jatiwangi dan Majalengka. Dengan konsep etalase, diharapkan beberapa produk inovasi terakota bisa ditampilkan dan dilihat publik.
Dengan begitu, Alun-Alun Desa Jatisura menjadi tempat untuk menunjukkan keragaman dari penggunaan material terakota dan menginspirasi hal serupa di tempat lain. Dari situ akan tumbuh konsumsi produk terakota, yang diharapkan pula akan menghela produksi.
Strategis sekaligus taktis
Menerjemahkan hasil desain ke dalam konstruksi nyatanya merupakan proses yang rumit. Banyak kendala yang perlu disiasati agar gagasan desain bisa terwujud. Di sini, selain berpikir strategis ala desainer, tim ITB juga menggunakan cara berpikir taktis saat berada di lapangan.
Secara umum, ada tiga kendala yang muncul saat proses konstruksi. Kendala pertama ialah kendala internal, yang berupa keterbatasan biaya, tenaga, dan waktu. Kendala kedua ialah pasokan material terakota yang tidak bisa dipasok pada waktu yang bersamaan.
Kendala ketiga ialah keterbatasan pengetahuan dari pekerja setempat, yang tidak cakap membaca gambar dan belum terbiasa membuat bangunan-bangunan yang didesain secara kreatif. Menyikapi ketiga kendala tersebut, tim ITB mengembangkan aneka strategi nonteknis dalam desain dan improvisasi di lapangan agar desain tetap terwujud dengan baik.
Meski menghadapi banyak kendala, proses konstruksi yang melibatkan pekerja lokal ternyata memberikan dampak pembelajaran dan pemberdayaan, baik kepada pekerja maupun tim ITB. Setelah dianggap berpengalaman, para pekerja direkomendasikan ikut dalam proyek konstruksi material terakota dalam skala lebih besar dan kualitas yang lebih baik di Kota Majalengka. Sementara itu, kunci pembelajaran bagi tim ITB ialah kesabaran.
Sebagai sebuah social lab, proses desain dan konstruksi Arsitektur Terakota di Alun-Alun Desa Jatisura dilihat sebagai proses pembelajaran kolektif. Istilah kolektif, dalam tulisan ini, diturunkan dari Teori Jaringan-Aktor (Actor-Network Theory/ ANT), yang melihat fenomena sosial yang sarat dengan objek-objek teknis (Latour, 2005, Yuliar, 2009).
Sebagai proses sosial, desain selalu melibatkan banyak pihak dengan sudut pandang, kepentingan, dan preferensi masing-masing (Dorst, 2003). Dengan perspektif pembelajaran kolektif, objek arsitektur yang dirancang dan dibangun menjadi proses pembelajaran masing-masing, ketika berinteraksi dengan orang-orang lain (Ekomadyo, dkk, 2019). Dengan berinteraksi dengan masyarakat, yang terjadi ialah rajutan pembelajaran (learning assemblage), yakni terjadi translasi dan koordinasi antarpelaku yang terlibat (McFarlane, 2006). (M-1)
Aeron Randi sebelumnya menjabat sebagai Kepala Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Majalengka.
Karhutla sudah terjadi di kawasan Gunung Tilu, Desa Girimukti, Kecamatan Kasokandel
Status siaga darurat ancaman bencana kekeringan, kebakaran hutan dan lahan 2024 ditetapkan mulai 1 Juni hingga 31 Oktober 2024.
KPU Majalengka akan bergerak secara serentak bersama pemangku kepentingan terkait lainnya untuk menyosialisasikan tahapan pilkada dan mendorong masyarakat untuk datang ke TPS.
Keduanya resmi terdaftar di Daftar Umum PVT sebagai varietas lokal Majalengka sejak akhir Mei 2024
Pemeriksaan ini untuk memastikan tidak ada parasit seperti cacing pita di organ dalam hewan kurban.
MESKI banyak memiliki persamaan, ada perbedaan antara desain partisipatif dan desain kolektif, berikut di antaranya:
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved