Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

MK Gelar Sidang Uji Konstitusionalitas soal Kewajiban Kepesertaan Tapera bagi Pekerja Lepas

Dinda Shabrina
23/7/2024 23:07
MK Gelar Sidang Uji Konstitusionalitas soal Kewajiban Kepesertaan Tapera bagi Pekerja Lepas
Ilustrasi sidang MK(MI/Susanto)

KONTROVERSI Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) berujung dengan diajukannya permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Salah satu pekerja lepas, Bansawan, menguji Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 9 ayat (2) UU Tapera. Sidang perdana Perkara Nomor 76/PUU-XXII/2024 digelar di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang itu dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih pada Selasa (23/7).

Dalam persidangan tersebut, Ferdian Sutanto dan Laura Donna selaku kuasa hukum Pemohon secara bergantian menyampaikan pokok-pokok permohonan. Pemohon mendalilkan kendati aturan terhadap Tapera baru akan berlaku pada 2027 dan saat ini belum menjadi kerugian konstitusional baginya, namun hal tersebut berpotensi merugikan saat mulai diberlakukannya bagi setiap warga negara Indonesia.

Baca juga : Komisi V DPR RI Minta Pemerintah Tunda Program Tapera di 2027

Pemohon juga menyebut uang hasil jerih payah Pemohon yang bekerja ini, sambung Ferdian, akan wajib diberikan kepada negara, sedangkan tabungan seharusnya bersifat pilihan dan sesuai dengan keinginan sendiri secara sukarela. Sehingga, jika pada 2027 diberlakukannya UU Tapera dapat dipastikan hal ini tidak sejalan dengan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945.

“Jika Pemohon dibebankan membayar tabungan perumahan rakyat, ini akan menambah berat beban hidup Pemohon. Seharusnya negara memfasilitasi kesejahteraan setiap warga negara Indonesia yang belum memiliki rumah, apabila menabung tentu dengan keinginannya sendiri secara sukarela,” ujar Laura.

Dalam petitumnya, Pemohon juga meminta kepada Majelis Hakim agar menyatakan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 9 ayat (2) UU Tapera Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi, “Peserta Tapera yang selanjutnya disebut peserta adalah setiap warga negara Indonesia dan warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan yang telah membayar simpanan” menjadi “Peserta Tapera yang selanjutnya disebut peserta adalah setiap warga negara Indonesia dan warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan yang telah membayar simpanan, dengan keinginan sendiri secara sukarela”.

Baca juga : Pemerintah Klaim tidak Tergesa-gesa Pungut Iuran Tapera

Dalam kesempatan itu, Hakim Konstitusi Enny dalam nasihat Majelis Sidang Panel memberikan catatan untuk disempurnakan oleh Pemohon. Salah satunya adalah kewenangan Mahkamah dalam mengadili perkara yang diujikan dan kedudukan hukum Pemohon yang terkait dengan hak-hak konstitusionalnya yang terlanggar oleh keberadaan undang-undang ini.

“Apakah pekerja freelance itu sama dengan pekerja mandiri? Sebab di undang-undang adanya pekerja mandiri, ini (pekerja freelance) belum dijelaskan apakah akan terkena imbas dari keberlakuan undang-undang ini saat diundangkan,” jelas Enny.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief memberikan catatan untuk Pemohon agar menguraikan secara jelas dan rinci kerugian konstitusional berdasarkan lima syarat kerugian konstitusional. Kemudian Pemohon perlu menguraikan dengan data konkret atas kewajiban menabung melalui perumahan rakyat.

Baca juga : Ke Mana Larinya Iuran Tapera?

“Misalnya, PUPR ada perumahan apakah ada data orang Indonesia yang belum punya rumah, jika itu banyak betul program ini dilakukan, jika ada ini bisa menyakinkan program ini dibutuhkan atau pada sifat dari kewajiban pembayaran ini yang tidak disetujui dengan menambahkan frasa dari Pemohon, apakah kemudian ini tepat,” jelas Arief.

Ketua MK Suhartoyo juga mengatakan kepada kuasa hukum Pemohon untuk membaca putusan MK yang belum berlaku diujikan maka sikap MK akan menyatakan prematur.

“Adanya anggapan kerugian dengan berlakunya sebuah norma, ini normanya belum berlaku. Jadi salah satu unsur keterlanggaran hak konstitusionalnya itu belum muncul. Bisa kuasa hukum baca putusan MK seperti hal serupa. Pun akan disebutkan potensial, maka ini harus diperhatikan dan didiskusikan lagi,” terang Suhartoyo.

Pada akhir persidangan, Ketua MK Suhartoyo mengatakan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Untuk kemudian naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 6 Agustus 2024 pukul 13.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Kemudian akan dijadwalkan untuk sidang lanjutan dengan agenda menyampaikan dan mendengarkan pokok-pokok perbaikan yang telah dilakukan Pemohon. (Dis/Z-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya