Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Mencermati Keragaman Visibilitas Hilal

Susiknan Azhari Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ketua Divisi Hisab dan Iptek MTT Pimpinan Pusat Muhammadiyah
05/4/2023 05:00
Mencermati Keragaman Visibilitas Hilal
(Dok. Pribadi)

AKHIR-AKHIR ini, perbincangan seputar wujudul hilal dan visibilitas hilal (imkanur rukyat) menjadi topik yang menarik. Berbagai artikel bermunculan untuk membandingkan keduanya. Tentu saja, secara akademik, hal ini adalah wajar. Apalagi, kehidupan di era reformasi dan demokrasi, semua pihak bisa menyampaikan pandangan secara terbuka melalui media sosial. Meskipun demikian, pihak yang ‘sangat terdidik’ memiliki tanggung jawab agar statement yang disampaikan dipertimbangkan aspek maslahat dan mafsadatnya agar tidak terjadi kegaduhan di tengah masyarakat.

Selama ini, dalam praktiknya ketika membandingkan wujudul hilal dan visibilitas hilal (imkanur rukyat), secara metodologis tidak dapat dipertanggungjawabkan. Mengapa? Karena perbandingan keduanya berhadap-hadapan, tidak ada alat ukur yang dijadikan rujukan untuk menguji keduanya secara adil dan transparan. Akibatnya, yang terjadi visibilitas hilal (imkanur rukyat) merasa lebih modern darupada wujudul hilal. Sekali lagi, di sinilah kunci kekurangakuratan cara membandingkan di antara keduanya. Tradisi akademik mengajarkan, ketika seorang peneliti ingin membandingkan sesuatu agar menggunakan ukuran yang jelas sehingga hasilnya tidak bias.

Memperhatikan realitas di atas dan pengamatan di lapangan, tulisan ini ingin membedah wujudul hilal dan visibilitas hilal secara proporsional. Jika merujuk pada buku yang dikeluarkan Departemen Agama Republik Indonesia berjudul Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah 1994/1995, maka pada halaman 8 dan 9 ditemukan uraian yang menjelaskan bahwa wujudul hilal dan visibilitas hilal masuk kategori hisab hakiki. Artinya, secara normatif keduanya memiliki peluang yang sama untuk dijadikan landasan dalam penentuan awal bulan Kamariah di negeri ini. Dengan kata lain, tidak ada yang merasa lebih modern. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan.

 

Keragaman variabel visibilitas hilal

Tidak dapat dimungkiri, sesuai perkembangan zaman dan kemajuan sains-teknologi, para pemburu hilal baik lokal, regional, maupun internasional terus meningkatkan kualitas pengamatan hilal sehingga menghasilkan berbagai rekor dunia, seperti yang dilakukan oleh Jim Stamm, John Pierce, dan Abbas Ahmadian. Kesemuanya adalah ikhtiar yang perlu diapresiasi untuk membangun sebuah teori visibilitas hilal yang mapan.

Berdasarkan data kontemporer, variabel visibilitas hilal sangat beragam dan dinamis. Variabel dimaksud, antara lain umur bulan (age), waktu lag bulan (mukus), ketinggian hilal (altitude), dan elongasi. Hal ini menunjukkan variabel visibilitas hilal bersifat ‘relative-tentative’.

Keragaman variabel visibilitas hilal dapat dimaklumi karena merujuk pada data yang diperoleh para pemburu hilal yang berhasil melihat hilal. Dalam konteks Indonesia, visibilitas hilal belum berdasarkan pengalaman empiris. Keberadaannya hanya sekadar memadukan data dari luar dengan cara interpolasi. Padahal, lokasi Indonesia yang dekat dengan khatulistiwa tentu memiliki keunikan tersendiri sehingga diperlukan observasi berkelanjutan. Sayangnya, ketua tim pakar merasa tidak penting dan merasa mencukupkan data yang diajukan dan proses perumusan ‘kurang demokratis’. Terlebih, proses perumusan tidak terdokumentasi dengan baik sehingga menyulitkan para pengkaji memahami proses yang terjadi.

 

Pengalaman Indonesia dan negara lain

Pengalaman berharga perumusan visibilitas hilal di Indonesia dan implementasinya menjadi catatan penting bagi pemegang amanah agar proses yang terjadi tercatat dengan baik dan siap menerima masukan yang diberikan. Selanjutnya, pada Selasa-Rabu, 21-22 Rajab 1443/22-23 Februari 2022, diselenggarakan pertemuan ahli falak oleh Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama di Hotel Sahid Serpong, Tangerang, Banten.

Pertemuan ini dibuka oleh Dirjen Bimas Islam Kamaruddin Amin dan dihadiri para pejabat di lingkungan Kemenag, para ahli hisab rukyat, dan tim pakar. Pada pertemuan ini mayoritas tidak menghendaki implementasi neo-visibilitas Hilal MABIMS (3-6,4) pada awal Ramadan 1443 H/2022 M demi kemaslahatan bersama.

Argumen yang disampaikan pihak penolak implementasi neo-visibilitas hilal MABIMS pada awal Ramadan 1443 H/2022 M, antara lain sebelum implementasi sebaiknya dilakukan sosialisasi dan jangan tergesa-gesa. Perlu dipikirkan aspek maslahat dan mafsadatnya. Jika dipaksakan untuk diterapkan dalam penentuan awal Ramadan 1443 H, terkesan ingin memenangkan pihak tertentu.

Bahkan, kalau melakukan perubahan, seharusnya tidak hanya persoalan kriteria, tetapi juga memperhatikan garis panduan yang telah disepakati bersama. Aspek lain yang disoroti kelompok yang menolak ialah, jika mengimplementasikan neo-visibilitas hilal MABIMS, apakah menggunakan model Singapura atau Malaysia, bagaimana posisi sidang isbat, bagaimana posisi fatwa MUI No 2 Tahun 2004, dan lain-lain.

 

Tak kalah pentingnya, perubahan sebaiknya dilakukan di awal tahun baru Hijriah. Tidak dilakukan di tengah jalan karena harus merevisi kalender yang sudah beredar di tengah masyarakat. Meskipun berbagai pandangan telah disampaikan, penggunaan neo-visibilitas hilal MABIMS tetap dipaksakan penggunaannya di Indonesia pada awal Ramadan 1443 H/2022 M.

Kekhawatiran yang disampaikan pihak penolak akhirnya terjadi. Penggunaan neo-visibilitas hilal MABIMS yang baru berjalan sebulan sudah menimbulkan masalah antaranggota MABIMS sampai hari ini. Perlu dipahami pula, semangat perubahan ternyata tidak diikuti dengan peraturan yang dapat dijadikan pedoman bersama. Hal itu tampak pada pertimbangan Keputusan Menteri Agama No 324 dan 435 Tahun 2022 pada poin b dan c tentang data hisab yang hanya mencantumkan data ijtimak dan ketinggian hilal tidak memasukkan data elongasi.

Kehadiran neo-visibilitas hilal MABIMS adalah upaya memperbaiki kriteria sebelumnya, yaitu visibilitas hilal MABIMS 2,3,8. Namun, dalam implementasinya, khususnya di Indonesia, waktu sosialisasi kepada ormas Islam kurang maksimal dan terkesan ‘dipaksakan’. Hal itu bisa diperhatikan pada laporan hasil observasi yang disampaikan dalam sidang isbat awal Ramadan dan awal Syawal 1443 H.

Pada sidang isbat awal Ramadan 1443 H, semua pelapor yang berjumlah 34 orang dari Papua hingga Aceh berasal dari pegawai di lingkungan Kementerian Agama, tanpa melibatkan ‘para pelapor’ yang selama ini terlibat dalam observasi. Sementara itu, laporan hasil observasi awal Syawal 1443 H lebih didominasi pelapor yang tidak disebut pada laporan awal Ramadan 1443 H.

Dalam konteks ini muncul statement di tengah masyarakat jika ‘hilal’ diperlukan maka semua pelapor dikerahkan untuk berhasil melihat hilal. Sebaliknya, jika hilal tidak diperlukan maka laporan para pelapor diabaikan begitu saja.

Kegaduhan implementasi neo-visibilitas hilal MABIMS (3-6,4) tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di Malaysia yang selama 30 tahun tidak ada masalah dalam penentuan awal Syawal. Namun, dengan penggunaan neo-visibilitas hilal MABIMS terjadi ketidaksesuaian tanggal awal Syawal 1443 H yang tertera dalam kalender Islam Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) dengan hasil observasi di Labuan Sabah yang melaporkan bahwa beberapa orang berhasil melihat hilal. Salah satunya Angku Bolkhizan Ahmad Thani. Akibatnya, masyarakat muslim Malaysia mengalami kebingungan dalam menyambut Idul Fitri 1443 H.

Situasi ini terekam dengan baik dalam buku berjudul Anak Bulan Syawal Monograf Penentuan Aidilfitri 1443/2022 yang disusun oleh Mohd Saiful Anwar Mohd Nawawi dan diterbitkan Juru Falak Syarie Malaysia. Peristiwa ini menjadi perhatian para ahli astronomi Islam di Malaysia terkait neo-visibilitas hilal MABIMS (3-6,4), salah satunya Baharrudin bin Zainal sebagaimana dikutip di Sinar Harian.

Menurutnya, syarat-syarat yang ditentukan neo-visibilitas hilal MABIMS perlu dikaji ulang, terutama nilai elongasinya agar sesuai dengan yang dihasilkan para pemburu hilal di Serantau. Kenyataan ini kurang diperhatikan pihak pengkritik wujudul hilal sehingga kritik yang dilakukan terkesan ingin menjadi ‘pahlawan semi-visibilitas hilal’ di negeri ini.

Tidaklah salah pandangan yang mengatakan bahwa visibilitas hilal adalah kriteria modern. Namun, perlu disadari, sepanjang pembacaan penulis, implementator visibilitas hilal secara autentik ialah Singapura, Turki, Aljazair, Tunisia, Australia, Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa. Pada penentuan awal Syawal 1443 H, Singapura merupakan satu-satunya anggota MABIMS yang konsisten menggunakan neo-visibilitas hilal MABIMS (3-6,4) yang menetapkan awal Syawal 1443 H jatuh pada Selasa, 3 Mei 2022.

Sementara itu, anggota MABIMS lainnya (Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia) menetapkan awal Syawal 1443 H jatuh pada Senin, 2 Mei 2022. Konsistensi implemetasi visibilitas hilal di Singapura,Turki, Aljazair, Tunisia, Australia, AS, Kanada, dan Eropa menjadikan umur kalender Islam tidak menyalahi sunah Nabi.

Berbeda di Indonesia, implementasi visibilitas hilal tidaklah autentik dan tidak sesuai panduan yang telah ditentukan dalam buku Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah di atas. Kehadirannya hanya bersifat semi-visibilitas hilal yang pada hakikatnya adalah rukyat dikemas dengan bahasa modern atau rukyat dengan meminjam variabel dalam visibilitas hilal. Akibatnya, umur bulan dalam kalender Islam ada yang tidak sesuai dengan sunah Nabi. Sekilas antara semi-visibilitas hilal dan visibilitas hilal tidak ada masalah. Padahal keduanya memiliki implikasi yang luar biasa dalam upaya mewujudkan kalender Islam pemersatu. Inilah yang menjadi persoalan pokok yang perlu diselesaikan bersama.

MI/Seno

 

Pentingnya kalender pemersatu

Pengguna wujudul hilal sangat terbuka dengan perkembangan zaman sehingga mewacanakan perlunya kalender Islam global dan demi persatuan siap menerima visibilitas hilal. Selama ini terjadi kesalahpahaman seakan-akan pengguna wujudul hilal tidak mau berubah dan anti terhadap visibilitas hilal. Padahal yang ditolak ialah semi-visibilitas hilal, bukan visibilitas hilal. Disinilah diperlukan kejernihan berpikir.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan kalender Islam pemersatu perlu direnungkan pernyataan Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin pada pidato pembukaan Muktamar Internasional Fikih Peradaban yang berjudul Kontekstualisasi Pandangan Keagamaan terhadap Realitas Peradaban di Era Modern. Wapres dengan tegas menyatakan, dalam upaya pembangunan peradaban, peran ilmu pengetahuan (sains) sangat penting, dan bahkan ia berfungsi sebagai kunci peradaban.

Menurutnya pula, ketentuan dalam fikih yang merupakan respons terhadap peradaban sebelumnya bisa jadi tidak cocok lagi untuk merespons peradaban saat ini. Karena itu, dibutuhkan konstruksi fikih baru yang lebih sesuai dengan peradaban saat ini. Pernyataan Wapres di atas sangat relevan bagi upaya penyatuan kalender Islam.

Perkembangan sains dan teknologi di bidang astronomi mengalami peningkatan yang luar biasa. Astronomi memiliki peran penting dalam pembentukan sistem waktu sesuai pesan nas dan tuntutan peradaban di era modern. Disinilah arti penting kehadiran kalender Islam pemersatu. Kehadiran kalender Islam pemersatu sebagai bukti bahwa ajaran Islam memiliki perhatian terhadap sains, sekaligus rahmat bagi alam semesta.

Pernyataan KH Ma'ruf Amin di atas dapat dijadikan pijakan bersama bahwa karya-karya fikih klasik perlu diapresiasi dan dihormati. Namun, untuk kepentingan masa kini perlu pula dikembangkan dengan model fikih baru agar umat Islam luwes merespons problem kekinian. Di sinilah arti penting keterbukaan berdialog dalam mewujudkan kalender Islam pemersatu. Pilihan visibilitas hilal yang autentik, dan bukan semi-visibilitas hilal sebagaimana diuraikan sebelumnya, adalah jalan tengah yang terbaik dan perlu diterima semua pihak dengan lapang dada.

Selanjutnya, jika masih dianggap penting, sidang isbat bisa dilakukan di awal tahun Hijriah dengan menghadirkan para pimpinan tertinggi ormas Islam yang ada di negeri tercinta ini. Inilah jalan moderasi yang autentik. Dengan demikian, umat Islam Indonesia memiliki kalender Islam yang mapan dan dapat menjalankan aktivitas secara teratur dan terencana. Waallahu a'lam bi as-sawab!



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya