Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Terapi Seni, Mitigasi Bencana, dan Komunitas

M-2
23/8/2022 07:45
Terapi Seni, Mitigasi Bencana, dan Komunitas
Buku kolaborasi masyarakat berdasarkan sumber daya budaya di Cikahuripan (Tahun 2020).(Dok. ITB)

SERING kali masyarakat kesulitan untuk secara konsisten menjalankan upaya mitigasi bencana. Meskipun mengetahui risiko bencana di lingkungan mereka, umumnya mereka merasa tidak memiliki kapasitas untuk menindaklanjutinya karena dirasa terlalu berat, baik itu secara biaya maupun tenaga.

Alih-alih terdorong untuk bersiap siaga, masyarakat cenderung pasrah walau sesungguhnya merasa cemas. Seorang neuroscientist asal AS, Bruce Perry, mengaitkan kecemasan itu dengan tekanan sosial dan lingkungan. Menurut Perry (2010), kelompok yang mengalami tekanan sosial dan lingkungan akibat keterbatasan dan instabilitas sumber daya akan mengalami kecemasan. Alhasil, mereka hanya mampu berpikir konkret dan menghasilkan solusi sederhana untuk jangka pendek. Padahal, untuk bisa menciptakan solusi-solusi jangka panjang, kelompok tersebut butuh kemampuan berpikir secara abstrak dan kreatif.

Kecemasan merupakan salah satu penyebab seseorang membutuhkan terapi, apalagi jika sampai membuat orang tersebut tidak berdaya. Salah satu bentuk terapi yang bisa dimanfaatkan ialah terapi dengan seni rupa sebagai modal utama dalam berkomunikasi dan berekspresi.

Proses kreasi dalam kerangka terapi seni tidak ditujukan untuk mendiagnosis kondisi psikis seseorang layaknya psikografis, tetapi mengoptimalkan pengalaman sensoris agar dapat menyeimbangkan proses emosi dan berpikir.

Mitigasi bencana penuh dengan manifestasi kecemasan komunitas yang direpresi akibat ketidakberdayaan mereka. Sosialisasi saja mungkin tidak cukup untuk menggerakkan komunitas yang cemas agar menindaklanjuti risiko dengan membangun budaya sadar bencana. Terapi seni berbasis komunitas membuka ruang kolaborasi untuk membuka jalan-jalan kreatif yang mampu mengatasi kecemasan kelompok. Komunitas akan difasilitasi supaya bisa menemukan sebuah bentuk seni yang baru, tetapi juga familier, untuk digunakan sebagai alat dan juga kekuatan baru.

Misalnya, pada satu komunitas yang sangat lekat dengan budaya kawih, mereka dapat menggunakan bentuk tersebut untuk mengekspresikan kecemasan dan membangun harapan bersama. Hal itu bukan dengan menggunakan kawih yang sudah ada, melainkan menyampaikan narasi mereka melalui metode kawih. Proses yang tampak mudah itu sebetulnya memerlukan sensitivitas agar tetap dapat menyasar pengalaman-pengalaman sensoris yang terkait dan tidak terpaku pada hasilnya. Eksplorasi sensoris inilah yang mampu mengurai kecemasan dan mewujudkannya dalam bentuk yang dapat dicerap bersama. Di akhir proses, ruang apresiasi harus dibuka agar terjadi diskusi lebih lanjut tentang apa yang ingin dilakukan secara kolektif setelahnya.

Melalui seni yang lekat dengan kehidupan komunitas, kesiapsiagaan menghadapi bencana dapat menjadi identitas kolektif yang terus hidup dari generasi ke generasi. Jika dalam sebuah generasi bentuk seninya sudah berubah, identitas kolektif tersebut bisa terus terjaga dan menemukan bentuknya yang baru. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya