Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Cetak Uang Berlebih Bisa Timbulkan Hiperinflasi

Fetry Wuryasti
11/6/2020 23:58
Cetak Uang Berlebih Bisa Timbulkan Hiperinflasi
Karyawan Peruri memperegakan cara mendesain uang di plat cetak mata uang logam(Antara/Rosa Panggabean)

PANDEMI Covid-19 membuat dunia bergejolak, termasuk Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah memberikan kemungkinan skenario sangat berat, yaitu ekonomi Indonesia tumbuh minus 0,4% pada tahun 2020.

Skenario sangat berat yang menyebabkan defisit anggaran tersebut sangat mungkin terjadi karena produktivitas dan konsumsi berhenti akibat dari pembatasan sosial secara fisik.

Negara mengalami beban ekonomi berlipat-lipat, yaitu mengeluarkan anggaran jaminan sosial bagi warga terdampak, penurunan pendapatan negara dari sisi pajak, memberikan insentif bagi pelaku usaha agar bertahan dan menghindari PHK, serta beban biaya penanganan kesehatan yang besar.

Membengkaknya defisit anggaran akibat tingginya tekanan ekonomi dari pandemi, memunculkan narasi mencetak uang atau menerbitkan surat utang.

Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah mengusulkan agar Bank Indonesia (BI) mencetak uang antara Rp400–Rp600 triliun sebagai cara cepat menyediakan dana segar di tengah terbatasnya uang negara untuk pembiayaan penanggulangan dampak Covid-19. Uang tersebut bisa dipakai untuk membeli surat utang pemerintah atau surat utang perbankan dan korporasi. 

Tri Kunawangsih Purnamaningrum dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti menekankan bahaya yang ditawarkan dari cetak uang berlebihan bisa menimbulkan hiperinflasi.

“Hiperinflasi dapat menyebabkan turunnya nilai mata uang. Uang yang terlalu banyak dapat menyebabkan warga menjadi konsumtif sehingga menurunkan nilai uang. Hal ini patut diperhatikan mengingat nilai tukar rupiah pernah menjadi 17 ribu di awal kemunculan kasus COVID-19," ujarnya melalui rilis yang diterima, Kamis (11/6).

Baca juga : Resmi, Kookmin Bank Setor Dana Segar ke Bukopin

Anggota DPR RI Komisi XI dari FPKB Ella Siti Nuryamah menjelaskan posisi DPR dalam mencetak uang dan asal muasal isu ini. Dia mengatakan diperlukan kajian mendalam sebelum usulan mencetak uang dikeluarkan.

"Wacana mencetak uang ini bukan sikap resmi dari institusi DPR, cetak uang lahir dari gagasan beberapa anggota DPR saja. Gagasan ini muncul mengingat tingginya defisit fiskal 2020 yang menjadi 6,34% atau sebesar Rp1.039,2 triliun pada tanggal 3 Juni 2020. Banyaknya uang yang dicetak juga tidak menjamin bisa menangani defisit APBN yang saat ini banyak digunakan untuk stimulus ekonomi," kata Ella.

Menurut anggota Kamar Dagang dan Industri Bob Azam, urgensi cetak uang adalah skenario terburuk terhadap dampak Covid-19. Setidaknya skenario perlu dipersiapkan pemerintah sampai pada level terburuk demi kepastian bisnis dan usaha.

"Saat ini, perusahaan-perusahaan tidak memiliki income, sehingga umum terjadi unpaid leave yang akrab dengan ketidakpastian. Industri otomotif yang berkontribusi 7.5% bagi GDP Indonesia diperkirakan penjualannya akan menurun sampai 40%," kata Bob.

Bob Azam menambahkan, injeksi langsung kepada dunia usaha belum ada. Dana kebanyakan mengalir ke BUMN, bukan ke UMKM dan pekerja.

Di negara lain transfer bantuan sudah langsung dari pemerintah kepada pengusaha. Namun di Indonesia masih harus melalui perbankan.

"Pinjaman melalui perbankan tentunya menguntungkan pengusaha ketimbang UMKM, karena nilai pinjaman kredit oleh pengusaha memiliki jaminan kredit yang lebih baik dibandingkan dengan jaminan kredit dari UMKM," kata Bob. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya