Meredakan Sengkarut Dunia Kesehatan

28/5/2025 05:00

SEJUMLAH fakultas kedokteran (FK) di Indonesia baru-baru ini mengeluarkan seruan keprihatinan terkait dengan sengkarut pendidikan kedokteran dan layanan kesehatan di Indonesia, termasuk soal kolegium yang disebut-sebut berada di bawah kendali Kementerian Kesehatan.

Di antara yang menyerukan keprihatinan itu ialah FK Universitas Sebelas Maret (UNS), FK Universitas Indonesia, FK Universitas Padjadjaran, FK Universitas Airlangga, FK Universitas Hasanuddin, hingga FK Universitas Gunadarma. Mereka menyatakan prihatin tidak dilibatkan dalam pengisian kolegium.

Seruan keprihatinan itu sejalan dengan sidang uji materi Undang-Undang (UU) Kesehatan yang tengah berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Sukman Tulus Putra, ahli yang dihadirkan Djohansjah Marzoeki (pemohon), menyatakan pengalihan kolegium dari organisasi profesi ke Kementerian Kesehatan telah menghapus independensi lembaga ilmiah tersebut.

Terkait dengan tudingan itu, Kementerian Kesehatan menyatakan posisi kolegium justru lebih independen. Sebelum UU 17/2023 tentang Kesehatan diterbitkan, kolegium berada di bawah organisasi profesi. Kini, kolegium menjadi alat kelengkapan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Prabowo Subianto.

Dengan demikian, kolegium tidak berada di bawah kendali Kementerian Kesehatan. Sesuai dengan UU 17/2023 dan peraturan turunannya, kolegium dipastikan tetap menjadi perkumpulan para ahli bidang ilmu kedokteran tertentu yang berjalan secara independen.

Di luar persoalan kolegium, keprihatinan berikutnya yang disampaikan beberapa fakultas kedokteran di Indonesia ialah keterlibatan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dalam pengelolaan pendidikan tenaga medis, khususnya dokter spesialis.

Menkes Budi dinilai terlalu cawe-cawe dalam urusan yang satu ini. Sejumlah guru besar fakultas kedokteran menilai Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi seharusnya yang lebih banyak terlibat dalam merancang dan mengelola dunia pendidikan kedokteran. Menkes juga dianggap terlalu berlebihan ketika mewacanakan pendirian program studi pendidikan dokter spesialis (PPDS) hospital-based di rumah sakit pendidikan yang saat ini telah digunakan fakultas kedokteran (university-based).

Dikhawatirkan terjadi dualisme sistem pendidikan jika dalam satu rumah sakit terdapat dua program, yaitu university-based dan hospital-based. Bukan tidak mungkin akan muncul perbedaan perlakuan terhadap mahasiswa kedokteran yang sedang berpraktik di sana.

Para guru besar fakultas kedokteran juga menganggap PPDS university-based tidak diperlukan mengingat saat ini pendidikan spesialis telah berbasis rumah sakit. Apalagi 90% proses pembelajarannya berlangsung di rumah sakit pendidikan.

Atas ketegangan yang melanda dunia kesehatan Indonesia saat ini, mestinya dicari jalan terbaik sehingga bisa mereda. Seraya menunggu putusan dari Mahkamah Konstitusi, kedua belah pihak yang berseberangan seyogianya duduk bersama dan menempatkan kepentingan publik di atas segalanya.

Layaknya besi diasah dengan besi hingga menjadi tajam, elok nian kiranya polemik ini menjadi sarana saling menguatkan dan memperbaiki. Bukan dilandasi nafsu berebut cuan dan kekuasaan, melainkan demi Indonesia yang lebih sehat dan lebih sejahtera.

Masyarakat luas jangan sampai dirugikan dengan adanya praktik tarik-menarik kepentingan di dunia kedokteran. Publik laksana seekor pelanduk, hewan kecil nan ringkih, tidak boleh mati terinjak akibat gajah bertarung lawan gajah. Jangan sampai itu terjadi tanpa ada solusi.

 



Berita Lainnya