Main Hajar Rekening ala PPATK

01/8/2025 05:00

ENTAH karena terlalu banyak pekerjaan, atau justru lagi enggak ada kerjaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memblokir puluhan juta rekening milik masyarakat. PPATK menyebut rekening-rekening itu banyak yang menganggur atau dormant.

Karena menganggur, menurut analisis PPATK, rekening itu rentan digunakan untuk tindak pidana, buat penampungan dana judi online, misalnya. Ada 31 juta rekening menganggur yang diblokir PPATK hingga Mei 2025. Dana yang enggak bisa lagi diakses pemiliknya selama diblokir mencapai Rp6 triliun.

Publik pun meradang, bertanya-tanya, apa hak negara membekukan rekening milik mereka? Apalagi, pemblokiran itu tanpa diawali pemberitahuan kepada pemiliknya.

Tidak mengherankan bila banyak yang bilang langkah itu serupa teror. Masyarakat dibuat resah dengan tindakan PPATK yang memakai label atas nama kepentingan negara. Tak sedikit nasabah yang mendatangi bank untuk mengambil kembali uang mereka.

Meski langkah PPATK diawali niat baik, prosesnya jelas dilakukan dengan generalisasi. Semua rekening dipandang sama rentannya dari tindak pidana.

Langkah PPATK itu jelas penuh celah, bolong-bolong, dan banyak kelemahan. Tidak terpikirkan oleh PPATK tabungan seorang petani yang kelak akan digunakan buat biaya kuliah anaknya. Karena pasif, rekening langsung 'disikat' oleh PPATK. Konyolnya lagi, PPATK main blokir rekening pasif hanya bermodal analisis, tanpa adanya alat bukti awal.

Tidak ada pelacakan PPATK terhadap rekening-rekening itu sebelumnya. Dengan analisis yang terkesan asal-asalan itu, akhirnya ketemulah pembenaran alasan untuk memblokir rekening itu.

Publik menyebut PPATK sedang bermain firasat dan prasangka. Dan, bagi PPATK, kalau rekening pasif, pasti sebentar lagi terjadi pidana. Cara PPATK tersebut jelas membahayakan negeri ini. Dengan penggunaan cara seperti itu amat mungkin bakal terjadi abuse of power alias penyalahgunaan kekuasaan.

Padahal, negeri ini masih terus tertatih-tatih membangun kembali kepercayaan warga negara kepada pemerintahnya. Dengan cara seperti itu, kepercayaan bisa tergerus dalam waktu cepat.

Langkah PPATK itu juga jadi bahan cibiran masyarakat. Pemerintah dinilai lebih suka mengurusi rekening menganggur ketimbang mengatasi tingkat pengangguran yang masih tinggi.

Per Februari 2025, berdasarkan data survei angkatan kerja nasional Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran mencapai 7,28 juta orang. Dari survei yang sama, 86,58 juta orang bekerja di sektor informal, dan hanya 59,19 juta orang yang menjadi pekerja formal.

Jika mau jujur, para pekerja informal itu termasuk para korban PHK atau lulusan bangku pendidikan yang tak terserap di pasar kerja. Ketimbang tak ada kerjaan, mereka berjualan nasi atau jadi sopir ojek online, yang penting halal.

Dari contoh kasus itu saja sudah bisa dengan mudah langsung dicerna, rekening bank mereka akan pasif dalam waktu yang lama. Korban PHK yang buka usaha nasi uduk akan langsung menggunakan pendapatan mereka pagi ini untuk modal berjualan esok hari, tak ada yang masuk ke rekening. Dan, ini mungkin akan berlangsung berbulan-bulan lamanya.

Rekening kelompok masyarakat yang tengah berjuang untuk hidup itu yang kini masuk kategori diblokir PPATK. Pokoknya semua rekening pasif, sikat!

Sudah saatnya negara mengakhiri kelakuan-kelakuan seperti itu. Model main sikat, jika ramai baru dikendurkan, sudah bukan zamannya lagi.

Kini, PPATK membuka kembali pemblokiran rekening tersebut. Akan tetapi, luka telanjur menganga. Maka, langkah itu mesti menjadi pelajaran bagi PPATK untuk lebih kreatif dan inovatif dalam menganalisis rekening. Hanya bisa berprasangka, apalagi hanya bermodal firasat, cukuplah terjadi di masa lalu.

 



Berita Lainnya