Setop Kirim Anak ke Barak Militer

07/5/2025 05:00

KEBIJAKAN mengirimkan anak yang dianggap nakal ke barak militer menuai polemik di ruang publik. Di satu sisi, program itu dianggap sebagai solusi tegas untuk mengatasi kenakalan remaja. Di sisi lain, banyak pihak menilai pendekatan militer tidak sesuai dengan prinsip perlindungan anak dan berpotensi melanggar hak-hak dasar mereka.

Pencetus ide ini, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, merancang agar para anak dan remaja yang dianggap 'sudah di luar kendali' orangtua dan sekolah menjalani pembinaan di lingkungan militer. Dalam pandangan Dedi, pendekatan disiplin militer merupakan cara untuk memutus mata rantai kebiasaan negatif di kalangan anak-anak dan remaja serta mengajarkan pola hidup teratur. Dengan jadwal ketat dan suasana yang terkendali, anak-anak diharapkan bisa 'reset' dan keluar dari kebiasaan buruk mereka.

Di atas kertas, program seperti ini memang terlihat menjanjikan. Banyak orangtua, yang kewalahan menghadapi anak remaja yang sulit diatur, bisa melihat program ini sebagai harapan baru. Namun, apakah hal itu benar-benar menyelesaikan masalah? Atau hanya menekan gejolak remaja sementara, seperti sekadar minum obat antinyeri tanpa mengobati penyakit utamanya?

Pemerintah pusat mestinya perlu mengingatkan Dedi, alih-alih berniat menerapkannya di semua daerah seperti yang disampaikan Menteri HAM Natalius Pigai. Kenakalan anak dan remaja kerap berakar dari hal-hal yang tak terlihat, misalnya kekerasan dalam rumah tangga, tekanan ekonomi, rasa tidak dihargai, atau lingkungan sosial yang keras.

Sejarah pendidikan di berbagai belahan dunia juga menunjukkan bahwa pendekatan otoriter justru sering menuai efek balik. Anak-anak bukannya membaik, malah menjadi lebih memberontak atau bahkan mengalami trauma psikologis ketika mendapatkan perlakuan keras.

Yang lebih mengkhawatirkan ialah aspek legal dari kebijakan ini. Atnike Nova Sigiro, Ketua Komnas HAM, dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan sipil bukanlah wilayah TNI.

Belum lagi pertanyaan tentang mekanisme pemilihan peserta, siapa yang berhak menentukan bahwa seorang anak perlu 'diperbaiki' di barak militer? Apakah ada proses pengadilan yang adil, atau ini hanya berdasarkan cap 'nakal' dari guru atau orangtua?

Sebenarnya, ada alternatif-alternatif lain yang terbukti efektif. Alih-alih dijejali dengan latihan fisik dan teriakan, anak-anak dan remaja lebih baik diajak mengekspresikan diri melalui kegiatan ekstrakurikuler. Temukan bakat dan kepercayaan diri yang selama ini tertutup oleh label 'nakal'.

Mengirim anak nakal ke barak militer adalah solusi simplistis yang mengabaikan kompleksitas masalah. Alih-alih membentuk karakter, kebijakan ini berisiko melanggengkan siklus kekerasan dan mengerdilkan hak anak.

Seorang pemimpin, termasuk kepala daerah seperti Dedi Mulyadi, perlu beralih ke pendekatan restoratif yang melibatkan keluarga, sekolah, dan komunitas. Anak-anak bukan tentara yang perlu dilatih. Mereka individu yang perlu dibimbing dengan kasih sayang dan kesabaran. Kebijakan yang baik harus memenuhi tiga prinsip: menghormati hak anak, menyentuh akar masalah, dan berkelanjutan.

Setiap anak, yang paling 'bermasalah' sekalipun, layak mendapatkan kesempatan tanpa diberi stempel nakal dan kemudian dikirim ke barak militer. Gubernur Dedi sebaiknya jangan sampai terlalu fokus pada upaya 'memperbaiki anak' tapi lupa bahwa sistem di sekeliling mereka juga harus dibenahi. Inilah tugas utama kepala daerah, yakni membangun lingkungan yang kondusif dan ramah bagi tumbuh kembang anak di wilayah masing-masing.

 



Berita Lainnya