Biang Kerok Pajak Jeblok

27/3/2025 05:00

ANGGARAN Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 lagi sempoyongan. Per Februari 2025, dari belanja negara yang sudah mencapai Rp348,1 triliun, pendapatan baru di angka Rp316,9 triliun, alias tekor Rp31,2 triliun. APBN yang lebih besar pasak daripada tiang itu salah satunya akibat penerimaan pajak yang superjeblok. Di dua bulan pertama 2025, penerimaan pajak mencapai Rp187,8 triliun, jauh di bawah capaian pada periode yang sama di 2024 yang sebesar Rp269,02 triliun. Ringkasnya, penerimaan pajak jeblok sampai 30%.

Kata Kementerian Keuangan, anjloknya penerimaan pajak di awal tahun 2025 akibat turunnya harga sejumlah komoditas di pasar global, seperti batu bara, minyak, dan nikel. Tak secuil pun kalimat yang keluar menyebut setoran pajak berkurang akibat lesunya perekonomian. Apalagi sampai berani menyalahkan Coretax, sistem baru administrasi pajak yang justru menyulitkan masyarakat melapor dan membayar pajak.

Padahal dari jauh hari Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mengingatkan banyak pihak, perlambatan ekonomi sudah mulai terjadi sejak 2023. Perlambatan itu dapat dilihat dari data konsumsi rumah tangga yang stagnan, bahkan selalu di bawah angka pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan data BPS, pada triwulan IV 2023 pertumbuhan ekonomi mencapai 5,04% (yoy) dan konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,46% (yoy). Tren itu terus berlanjut hingga kuartal IV 2024, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,02% (yoy) dan konsumsi rumah tangga mentok 4,98% (yoy).

Laporan Bank Indonesia (BI) juga menyebut indeks keyakinan konsumen (IKK) terus turun sejak pertengahan 2024. Penurunan itu mencerminkan sikap masyarakat yang semakin berhati-hati dalam belanja. Tren inflasi tahunan yang terus melambat, dari 3% secara tahunan (yoy) pada April 2024 menjadi hanya 2,12% (yoy) pada Januari 2025, juga memperkuat indikasi lemahnya konsumsi rumah tangga.

Penurunan konsumsi rumah tangga itu tak lepas dari terus bertambahnya jumlah penduduk kelas menengah yang turun kelas. Data BPS menunjukkan, jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia menyusut dari 21,5% pada 2019 menjadi 17,1% pada 2024. Itu berarti hampir 10 juta individu mengalami ketidakpastian ekonomi.

Data-data itu jelas menunjukkan ekonomi kita saat ini sedang tidak baik-baik saja, bahkan masih berada di zona kuning yang beberapa kali lompat ke merah. Bukan cuma masyarakat, dunia usaha juga sudah mengeluhkan lesunya perekonomian sejak lama.

Momentum Ramadan saat ini menjadi contoh nyata ekonomi yang redup. Konsumsi yang biasanya naik di bulan puasa, baik dalam bentuk kegiatan buka bersama maupun belanja baju Lebaran, kini tak lagi seramai dulu.

Jika konsumsi yang selama ini berfungsi sebagai mesin utama melambat, bagaimana roda pertumbuhan dapat diharapkan berlari cepat? Sudah jelas melorotnya penerimaan pajak di awal tahun ini utamanya disebabkan oleh turunnya kemampuan belanja masyarakat dan melesunya dunia usaha.

Perbaikan ekonomi tentunya dibutuhkan di sini. Pemerintah mestinya lebih banyak mengeluarkan kebijakan yang dapat menstimulus ekonomi, bukan menghabiskan waktu dan energi untuk menangkis kritikan dari masyarakat. Langkah itu bisa dimulai dari membuka komunikasi yang baik dan transparan dengan masyarakat akan situasi yang terjadi saat ini, dibarengi dengan penjelasan program-program yang dapat menjadi solusi.

Jika intensifikasi pajak sulit diandalkan saat ini karena daya beli masyarakat masih tertekan, pemerintah bisa mengandalkan diversifikasi pajak dengan memperluas cakupan basis pajak. Perluasan basis pajak tentunya bakal menelurkan sikap pro dan kontra di masyarakat. Namun, itu jadi salah satu langkah yang dapat diambil jika roda pembangunan negeri ini masih ingin tetap berputar.

Tentunya, semua upaya tersebut dapat dimulai jika ada kepercayaan dari masyarakat kepada pemerintahnya. Karena itu, pemerintah lebih baik segera membuka komunikasi yang apa adanya dengan masyarakat, bukan terus-terusan memproduksi penyangkalan.

 



Berita Lainnya