Jaga Imparsialitas Penegakan Hukum

22/2/2025 05:00

UPAYA perluasan kewenangan jaksa melalui revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan memicu kontroversi. Pemberian kewenangan lebih itu diduga akan sangat potensial menghadirkan dampak negatif pada penegakan hukum di Indonesia.

Penambahan kewenangan penyadapan hingga pemanfaatan intelijen untuk proses penyelidikan perkara dianggap rawan disalahgunakan. Adapun RUU Kejaksaan memperbolehkan penggunaan intelijen negara dalam proses penggalian alat bukti melalui penyadapan.

Dalam sistem hukum yang berlaku saat ini, penyelidikan dan penyidikan umumnya menjadi kewenangan kepolisian, sementara kejaksaan berperan dalam penuntutan. Jika revisi tersebut memberikan kejaksaan kewenangan lebih besar dalam penyelidikan, sangat mungkin akan terjadi tumpang tindih peran di antara aparat penegak hukum. Itu berpotensi mengaburkan batas-batas fungsi setiap lembaga sekaligus menyebabkan ketidakjelasan dalam proses hukum.

Selain itu, revisi tersebut mengusulkan penguatan kejaksaan sebagai pengendali perkara atau dominus litis yang lebih mutlak. Meskipun penguatan peran tersebut bertujuan meningkatkan efektivitas penegakan hukum, banyak pihak mengkhawatirkan kewenangan yang terlalu besar tanpa pengawasan yang memadai dapat membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan.

Dengan kewenangan mengendalikan perkara, kejaksaan bisa memutuskan sebuah perkara dilanjutkan ke pengadilan atau dihentikan. Karena itu, apabila kewenangan dominus litis sepenuhnya diserahkan kepada kejaksaan, risiko besarnya ialah penyalahgunaan wewenang.

Dengan kendali penuh atas perkara, kejaksaan dapat menggunakan kekuasaan mereka untuk kepentingan politik atau ekonomi tertentu yang berpotensi merusak prinsip keadilan.

Selain itu, minimnya mekanisme pengawasan yang efektif dapat menyebabkan jaksa bertindak tanpa kontrol yang cukup sehingga membuka ruang bagi keputusan yang tidak transparan dan merugikan pihak tertentu. Pada saat yang sama, pengawasan yang minimal dapat membuka peluang bagi jaksa untuk bertindak tanpa akuntabilitas yang memadai.

Kewenangan yang luas itu juga dapat mengarah ke kriminalisasi yang berlebihan terhadap individu atau kelompok tertentu yang sewaktu-waktu dapat menjadi sasaran penuntutan yang tidak proporsional. Hal itu tentu menimbulkan ketidakadilan dan memperlebar celah bagi praktik hukum yang tidak objektif.

Dominasi kejaksaan dalam menentukan jalannya perkara juga dapat mengancam independensi peradilan. Jika dominus litis sepenuhnya berada di tangan kejaksaan. Ada risiko bahwa keputusan hukum lebih dipengaruhi oleh kepentingan eksekutif daripada prinsip keadilan yang seharusnya menjadi pedoman utama.

Mempersenjatai kejaksaan melalui kewenangan penuh tersebut dikhawatirkan dapat menjadikan kejaksaan sebagai alat kekuasaan yang tidak terkontrol sehingga mengancam prinsip independensi dan imparsialitas hukum.

Situasi itu jelas dapat menyebabkan ketidakstabilan dalam sistem hukum serta mengikis kepercayaan publik terhadap sistem penegakan hukum di negeri ini. Mestinya sistem penegakan hukum yang sehat harus memiliki keseimbangan kekuasaan serta mekanisme kontrol yang kuat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.

Kejaksaan, yang secara administratif berada di bawah presiden, bisa menjadi alat politik jika tidak ada mekanisme checks and balance yang kuat. Dalam berbagai kasus, jaksa telah menjadi pihak yang rentan terhadap tekanan politik, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan pejabat negara atau kepentingan tertentu.

Sejumlah pihak sudah mengingatkan jika dipaksakan, revisi tersebut justru dapat menimbulkan permasalahan baru dalam sistem hukum Indonesia. Dengan kewenangan yang lebih besar, tanpa adanya reformasi pengawasan internal dan eksternal yang memadai, revisi UU Kejaksaan dapat menjadi pedang bermata dua yang justru melemahkan sistem penegakan hukum yang adil dan independen.

 

 



Berita Lainnya