Memerdekakan Hak Konstitusional Pemilih

03/1/2025 05:00

SUDAH 32 kali Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi, baik itu perubahan maupun penghapusan tentang beleid ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Namun, tidak untuk yang ke-33 kalinya.

Mahkamah penjaga konstitusi itu akhirnya menghapus ketentuan presidential threshold yang selama ini tercantum pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Majelis hakim MK menegaskan bahwa ambang batas tersebut bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, sekaligus juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan mengandung unsur ketidakadilan yang intolerable, serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.

Alasan itulah yang menjadi dasar bagi MK untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya mengenai uji materi ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Ditambah lagi, beberapa kali pilpres yang selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan paslon, membuat daulat rakyat terkikis.

Hal itu berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih untuk mendapatkan alternatif yang memadai terkait dengan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Bahkan, dengan mempertahankan ambang batas, ada kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar dalam setiap pilpres hanya terdapat dua paslon.

Membiarkan atau mempertahankan ambang batas pencalonan presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilu, bisa menggerus esensi pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.

Oleh karena itu, putusan MK kali ini jelas fenomenal. Putusan tersebut menjadi babak baru dalam lanskap demokrasi konstitusional Indonesia. Kini, parpol akan mencari calon terbaik, bukan seperti selama ini mencari koalisi dulu, baru dipikirkan calonnya.

Namun, putusan ini tidak hanya soal pencalonan dalam pilpres, tapi juga bakal berdampak lebih jauh pada seluruh aspek demokrasi di negeri ini, bahkan pada implementasi ketatanegaraan.

Paktik kerja sama parpol di pemerintahan hasil pemilu dipastikan akan mengalami pergerseran. Hegemoni koalisi besar bisa dipastikan tidak akan kental seperti dua periode pemerintahan yang telah berjalan.

Praktik politik transaksional untuk mengamankan tiket pilpres juga bisa dipastikan tidak akan sepekat sebelum-sebelumnya. Mahar politik dan politik dagang sapi akan bisa diminimalkan.

MK patut diapresiasi karena telah membuka gerbang menuju era demokrasi yang lebih terbuka. Dengan hilangnya ambang batas, parpol tentu akan lebih independen untuk mencalonkan serta berbenah diri memperbaiki internal dan melakukan kaderisasi.

Dengan hak pencalonan presiden yang melekat di tiap-tiap parpol, tentu parpol akan terdorong untuk belomba-lomba memunculkan calon-calon pemimpin yang benar-benar diharapkan rakyat, calon yang dekat dengan rakyat, bukan kandidat yang hanya diputuskan elitenya para elite.

Dengan sistem demokrasi yang makin terbuka ke depan, ruang-ruang elitis yang jauh dari rakyat pasti akan ditinggalkan dan kehilangan dukungan pemilih. Rakyat tidak mau lagi kandidat yang mereka inginkan justru tidak mendapatkan tiket untuk maju dalam kontestasi demokrasi.

Semua pemangku kepentingan tentu harus segera merespons putusan MK ini, termasuk DPR RI yang tengah mengambil ancang-ancang untuk merevisi paket undang-undang politik.

Sesuai dengan seluruh substansi legislasi tentang pemilu, maka tidak hanya lantaran bersifat final dan mengikat sehingga putusan MK itu mesti diakomodasi, tetapi juga karena putusan tersebut lahir untuk memberikan kemerdekaan hak konstitusional rakyat. Dan, rakyatlah pemilik mandat demokrasi.

 



Berita Lainnya