Preseden Pemulangan Mary Jane

23/11/2024 05:00

RENCANA pemerintah Indonesia memulangkan terpidana mati Mary Jane Veloso atau Mary Jane ke negara asalnya, Filipina, masih menjadi polemik. Banyak yang menyebut mekanisme transfer of prisoner tidak memiliki dasar yang kuat. Namun, praktik seperti itu sebetulnya lazim dilakukan di sejumlah negara.

Mary Jane dipenjara pada 2010 dan dijatuhi vonis mati pada tahun yang sama setelah tertangkap tangan membawa narkoba jenis heroin seberat 2,6 kg di kopernya. Nyaris dieksekusi, Mary Jane dibebaskan dari regu tembak pada menit terakhir pada 2015.

Ketika itu, pejabat Filipina meminta Presiden RI saat itu, Joko Widodo, agar mengizinkannya bersaksi melawan perekrut ilegalnya yang disidang di Filipina. Sejak saat itu, pemerintah Filipina melakukan berbagai upaya untuk mengajukan banding atas kasus Mary Jane.

Pemerintah telah menegaskan bahwa pemulangan tersebut bukan berarti pembebasan. Status terpidana Mary Jane tetap melekat. Terlepas dari polemik tersebut, banyak pelajaran dan harapan yang bisa diambil dari pemulangan Mary Jane.

Pemindahan Mary Jane ke negara asalnya diharapkan bisa memberi dampak baik bagi warga negara Indonesia yang ditahan di luar negeri. Langkah pemerintah memindahkan Mary Jane mestinya bisa membuka peluang bagi pemulangan WNI yang saat ini ditahan di luar negeri.

Berdasarkan catatan Kementerian Luar Negeri, saat ini ada 165 pekerja migran yang terancam hukuman mati di luar negeri dan sebagian besar di Malaysia. Selain itu, ada yang ditahan di Arab Saudi, Tiongkok, dan Qatar. Mayoritas terjerat oleh kasus narkoba.

Pemerintah saat ini tengah mengupayakan proses perubahan hukuman atau komutasi bagi para WNI tersebut. Dengan preseden Mary Jane, pemerintah bisa lebih gencar mengupayakan komutasi tersebut dan menggalang dukungan internasional sehingga proses tersebut diharapkan bisa berjalan lebih mulus.

Pemulangan Mary Jane juga bisa menjadi peta jalan bagi pemerintah untuk menghapus hukuman mati. Saat ini, upaya penghapusan hukuman mati masih terus dilakukan pemerintah meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih mencantumkan hukuman mati sebagai pidana alternatif.

Berdasarkan catatan Amnesty International, sepanjang 2023, sebanyak 114 orang dijatuhi hukuman mati di Indonesia. Jumlah itu meningkat jika dibandingkan dengan hukuman mati yang dijatuhkan pada 2022.

Menyusul pemulangan Mary Jane, pemerintah juga jangan sampai melupakan kasus terpidana mati kasus narkoba lainnya, yakni Merri Utami. Sama seperti Mary Jane, Merri Utami sama-sama merupakan korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Pekerja migran Indonesia yang baru pulang dari Taiwan itu dijebak oleh sindikat narkotika dan dipenjara di Indonesia selama lebih dari 20 tahun. Merri yang dihukum sejak 2001 telah mendapatkan grasi atau pengampunan dari Presiden Ke-7 RI Joko Widodo pada 2023.

Pemulangan Mary Jane dan pembebasan Merri Utami yang sudah menjalani hukuman selama lebih dari 20 tahun bisa menjadi langkah penting menuju penegakan keadilan bagi para perempuan pekerja migran yang berada dalam kondisi rentan tersebut.

Langkah itu semoga memberi dampak baik bagi WNI lainnya yang ditahan di luar negeri. Perang melawan narkoba memang harus, tapi kita tetap mesti bisa memilah mana korban dan mana penjahat sesungguhnya.

 

 



Berita Lainnya