Karpet Merah Putra Presiden

26/9/2023 21:00
Karpet Merah Putra Presiden
Ilustrasi MI(MI/Seno)

KAESANG Pangarep mungkin satu-satunya politikus yang kariernya paling moncer di negeri ini. Betapa tidak? Putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu langsung ditunjuk sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) hanya selang sehari setelah menjadi anggota partai tersebut. Padahal, sebelumnya, anak muda berusia 28 tahun itu hanyalah seorang pengusaha kuliner dan belum pernah punya pengalaman di bidang politik.

Bandingkan, misalnya, dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, yang pernah bertarung di Pilkada DKI pada 2017 sebelum akhirnya terpilih secara aklamasi menjadi Ketum Partai Demokrat untuk menggantikan ayahnya pada 2020. Jika dibandingkan dengan AHY, ‘prestasi’ Kaesang lebih ‘hebat’ karena partai yang dipimpinnya bukanlah partai milik sang ayah. Ia boleh dibilang pendatang baru di PSI.

Namun, justru itulah yang membuat publik jadi bertanya-tanya mengapa PSI mendapuk dia sebagai ketum menggantikan Giring Ganesha. Apa mereka tidak punya kader lain yang lebih mumpuni atau itu sekadar ingin mendompleng popularitas Jokowi untuk mendongkrak kursi pada Pemilu 2024?

Penunjukan Kaesang sebagai Ketum PSI semakin memberi kesan buruknya budaya politik di Indonesia, terutama kegagalan dalam menciptakan meritokrasi di tubuh partai politik yang menuntut kapasitas atau kemampuan individu, bukan pada kelas sosial, nepotisme, dan sebagainya.

Pertanyaan lainnya yang juga mengusik publik, mengapa pula Jokowi merestui putra bungsunya itu bergabung ke PSI, bukannya ke PDIP yang notabene merupakan partai yang mengusungnya sebagai presiden? Tidak salah jika ada sebagian pengamat menilai hubungan Jokowi dengan PDIP sedang kurang mesra. Apalagi, publik pun tahu Jokowi belakangan lebih akrab dengan Prabowo Subianto, capres yang juga didukung PSI. Apa itu juga ada campur tangan atau cawe-cawe sang Presiden?

Keputusan seseorang untuk bergabung dengan partai politik (parpol) A atau B memang merupakan hak pribadi setiap individu. Tidak ada satu pun aturan yang melarang. Namun, setiap parpol tentu harus punya mekanisme untuk menjaring keanggotaan mereka, entah itu sekadar simpatisan, anggota biasa, kader, ataupun anggota kehormatan, apalagi untuk menjadi seorang ketum.

Minimal ada kriteria-kriteria ataupun prasyarat tertentu yang tertuang dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Mekanisme semacam itu penting agar anggota parpol lebih berkualitas dan memiliki integritas. Hal itu hanya dapat ditumbuhkan melalui tempaan pendidikan politik di tubuh parpol. Tidak bisa simsalabim.

Mengelola parpol tidak bisa main-main. Apalagi, ia memiliki peran penting dalam sebuah negara demokrasi. Parpol ialah pilar demokrasi sekaligus wadah untuk menyalurkan aspirasi tidak hanya bagi anggota mereka, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Fungsi lainnya, ia juga dapat menjadi sarana pendidikan politik bagi masyarakat.

Minimal parpol harus dapat menjadi contoh bagaimana mengelola organisasi secara transparan, akuntabel, dan demokratis. Mengelola parpol mesti serius dan profesional karena ia lebih dari sekadar karang taruna.



Berita Lainnya