Orkestrasi Koalisi Versi Jokowi

14/8/2023 21:00

ISU cawe-cawe Presiden Joko Widodo dalam proses pemilihan presiden tampaknya telah menunjukkan wujudnya dengan terbentuknya koalisi besar partai politik pengusung pemerintah. Koalisi yang didasari kepentingan kontestasi Pilpres 2024 dengan kandidat bakal calon presiden Prabowo Subianto.

Koalisi yang terdiri atas gabungan Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Golkar, dan Partai Amanat nasional itu sangat kental dengan nuansa orkestrasi dari Presiden Jokowi. Tidak hanya publik, sejumlah pakar politik pun sangat yakin bahwa koalisi ini wujud dari impian Jokowi.

Dengan bergabungnya PAN dan Golkar maka koalisi pendukung Prabowo ini mempunyai kekuatan suara cukup besar. Jika dilihat dari persentase perolehan kursi tiap-tiap partai tersebut dalam Pemilu 2019, koalisi ini menguasai 46% kursi parlemen.

Persentase itu sudah melampaui ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20% kursi di parlemen seperti ditetapkan dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan koalisi PDIP-PPP pengusung Ganjar Pranowo yang hanya 25,5%, serta Koalisi Perubahan untuk Persatuan pengusung Anies Baswedan yang terdiri atas Partai Nasdem, Demokrat, dan PKS yang memiliki 28,35% kursi parlemen.

Jejak koalisi besar Prabowo memang sulit dilepaskan dari inisiatif Jokowi. Deklarasi empat parpol itu mengindikasikan mesin politik di lingkaran Istana sedang dijalankan sekaligus mempertegas positioning Jokowi yang mendukung Prabowo.

Embrio koalisi besar terbentuk sejak April 2023 lalu, saat pertemuan Presiden Jokowi dengan lima ketua umum (ketum) parpol yakni Prabowo, Zulkifli Hasan, Plt Ketum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Mardiono, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar.

Di titik inilah sulit untuk tidak mengaitkan meleburnya Golkar-PAN tanpa adanya political endorsement Istana. Bantahan lingkaran Istana, termasuk dari Jokowi sendiri, jelas tidak mencerminkan kemungkinan manuver-manuver di belakang layar.

Di atas panggung, jelas tidak mungkin bagi Jokowi secara vulgar mengarahkan ke mana arah capres-cawapres 2024. Terlebih, jika pasangan itu berbeda dengan arahan PDIP sebagai partai yang menaungi Jokowi.

Inilah yang menguatkan kemungkinan hadirnya orkestrasi Jokowi dilakukan di belakang panggung. Apalagi, pengakuan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra yang juga adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, bahwa dukungan Golkar atas seizin Jokowi.

Jokowi semestinya tidak ikut campur dalam membangun sebuah koalisi. Penentuan capres-cawapres mutlak merupakan otoritas partai politik. Jokowi mestinya paham kedaulatan parpol menentukan capres-cawapres dijamin oleh konstitusi. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 mengatur ketentuan bahwa calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol.

Jokowi seharusnya cukup bertindak memastikan bahwa Pemilu 2024 berjalan dengan lancar, aman, fair, serta jujur dan adil. Setelah menjabat dua periode, sudah saatnya bagi Jokowi meninggalkan panggung politik secara bermartabat.

Cawe-cawe dalam pencapresan jelas tidak elok di mata rakyat, apalagi bertindak lebih jauh untuk mengatur siapa yang harus menang pada Pilpres 2024. Jangan hanya karena ingin programnya yang belum tercapai diteruskan pemerintahan mendatang, konstitusi diterabas.

 



Berita Lainnya