Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
BUAT apa kita membanggakan laju pembangunan yang seolah cepat, tetapi di baliknya masih ada ketimpangan yang menganga? Buat apa kita suka memamerkan data-data perekonomian yang seakan cantik, tetapi realitasnya kemiskinan masih menjadi sahabat rakyat?
Pertanyaan-pertanyaan itu tak lekang oleh waktu. Ia terus ada hingga sekarang kendati banyak pihak yang membungkus dan menutupinya dengan rupa-rupa pencapaian.
Data dan angka statistik yang kerap disebarkan pemerintah memang bisa membuat kita silau, terpukau, bahwa bangsa ini telah maju pesat. Yang terkini, misalnya, Indonesia disebutkan kembali ke kelompok negara berpendapatan menengah ke atas. Atau, Presiden Jokowi berulang kali menyatakan pertumbuhan ekonomi negeri ini tetap tinggi ketika banyak negara lain yang masih terkapar akibat serangan pandemi covid-19.
Pemerintah sering pula memamerkan pencapaian pembangunan infrastruktur. Sekian ribu kilometer jalan tol, sekian puluh bandara atau pelabuhan, sekian banyak bendungan, waduk, embung, dan sejenisnya terus dikampanyekan sebagai bentuk keberhasilan mereka. Belum cukup, pemerintah juga bangga dengan proyek prestisius semisal kereta cepat Jakarta-Bandung.
Masuk jajaran negara berpendapatan menengah ke atas memang bagus. Mati-matian membangun infrastruktur memang baik. Ngebet dengan megaproyek agar diakui sebagai negara modern boleh juga. Namun, apalah gunanya jika di balik semua itu masih ada persoalan yang lebih penting, lebih mendesak, untuk diselesaikan, yakni ketimpangan.
Banyak data dan angka bahwa ketimpangan masih parah. Berdasarkan laporan World Inequality Report 2022, misalnya, kelompok 50% terbawah hanya memiliki 5,46% dari total kekayaan ekonomi Indonesia pada 2021. Angka itu lebih buruk daripada 2001 sebesar 5,86%.
Lalu pada 2021, 10% penduduk terkaya di Indonesia menguasai 60,2% ekonomi nasional. Angka itu naik tajam ketimbang 2001 sebesar 57,44%.
Perihal pendapatan sama saja. Pendapatan kelompok 50% terbawah hanya Rp22,6 juta per tahun pada 2021. Sebaliknya, kelompok 10% teratas memiliki pendapatan sebesar Rp285,07 juta per tahun.
Data yang dilansir Badan Pusat Statistik juga menyedihkan. Pada September 2022, tingkat ketimpangan penduduk Indonesia sebesar 0,381. Angka ini turun 0,003 poin ketimbang rasio gini Maret 2022, tetapi tak mengalami perubahan jika dibandingkan dengan September 2021. Data BPS pada Maret 2023 mencatat tingkat ketimpangan pengeluaran naik menjadi 0,388 pada Maret 2023 jika dibandingkan September 2022.
Data dari Lembaga Penjamin Simpanan pun membuat kata layak mengurut dada. Disebutkan, simpanan di atas Rp5 miliar meningkat 4,9% per YoY pada Januari 2019 atau sebelum pandemi menjadi 0,6% YoY per Maret 2023. Sebaliknya, simpangan di bawah Rp10 juta melambat.
Seabrek data tersebut menjelaskan sekaligus menegaskan bahwa pembangunan cenderung dinikmati orang-orang berpunya. Merekalah yang menguasai perekonomian negeri ini. Dengan kata lain, yang kaya semakin kaya yang miskin tetap atau bahkan kian miskin. Inilah fakta yang tak terbantahkan bahwa pembangunan tak dibarengi dengan pemerataan, pembangunan terus mengabaikan keadilan.
Pada konteks itu, kita sepakat dengan apa yang disampaikan bakal calon presiden Anies Baswedan pada Rakernas XVI Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia di Makassar, Kamis (13/7). Dengan menampilkan penampakan di malam hari, dia bicara ketimpangan kota-kota di Indonesia. Dari visualisasi itu, tampak jelas hanya di Jawa yang kelihatan terang. Sebaliknya, di pulau lainnya cuma titik-titik cahaya, bahkan gelap gulita terutama di kawasan Indonesia bagian timur.
Anies ingin menegaskan bahwa ketimpangan masih menjadi masalah serius di Indonesia. Dia ingin penyakit klasik itu disudahi dengan pembangunan yang berbasiskan pemerataan. Pembangunan ialah keniscayaan. Namun, pembangunan tanpa pemerataan, tanpa keadilan, hanya akan melanggengkan disparitas. Negeri ini butuh perubahan. Negeri ini tidak butuh keberlanjutan ketimpangan.
PANITIA Seleksi Calon Pimpinan dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah kunci
Namun, seruan Menko Polhukam itu bak membuka kembali lembaran-lembaran pelanggaran yang terjadi pada masa lalu.
VONIS bebas terdakwa Gregorius Ronald Tannur telah mencederai pemenuhan hak atas keadilan korban Dini Sera Afrianti beserta keluarga.
SETELAH menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPU RI sejak 4 Juli 2024, Mochammad Afifuddin resmi menjadi Ketua KPU RI definitif periode 2022-2027 mulai kemarin.
SEBARAN racun judi daring atau judi online (judol) kian mengerikan.
HARUS tegas dikatakan bahwa tekad bangsa ini untuk memberantas korupsi berada di ambang gawat darurat.
PERIODE Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masa bakti 2019-2024 tinggal hitungan bulan lagi.
SEMAKIN dekat pada pemilihan umum, rakyat negeri ini sudah biasa melihat manuver politik yang makin menjadi. Lawan menjadi kawan, begitu pula sebaliknya.
ADA pepatah populer bahwa hasil tidak akan mengkhianati usaha. Dari usaha yang keras akan dipanen hasil yang memuaskan.
FRASA gotong royong kembali dipakai untuk menjadi dalih dan alasan bagi negara untuk mengutip uang dari rakyat.
PROGRAM makan siang gratis merupakan janji politik pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang sedari awal membetot perhatian.
PRESIDEN Joko Widodo melantik tiga wakil menteri sekaligus untuk membantu kerja menteri-menteri bidang ekonomi, kemarin.
PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) akan digelar serentak pada November mendatang, dari wali kota, bupati, hingga gubernur.
MASYARAKAT Indonesia terpotret semakin permisif terhadap perilaku korupsi. Perbuatan lancung yang dahulu dianggap tabu itu perlahan-lahan mulai dianggap biasa dan ditoleransi
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved