Menimang Capres

25/4/2023 05:00
Menimang Capres
Ilustrasi MI(MI/Duta)

PETA persaingan di Pilpres 2014 semakin jelas untuk dibaca setelah PDIP akhirnya mengusung Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden. Pencalonan lebih awal itu pun baik, sangat baik, untuk memberikan lebih banyak waktu kepada rakyat guna menimbang pilihan terbaik.

Pencalonan Ganjar diumumkan langsung oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di Istana Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat, Jumat (21/4). Pengumuman itu sekaligus mengakhiri spekulasi yang lama berkembang perihal siapa kandidat dari partai benteng moncong putih, apakah Puan Maharani atau Ganjar Pranowo.

Dengan pencalonan Ganjar, berarti secara de facto sudah ada dua bakal capres. Ganjar menyusul Anies Rasyid Baswedan yang lebih dulu dicalonkan oleh Partai NasDem, Demokrat, dan PKS lewat Koalisi Perubahan untuk Persatuan.

Ada pula Prabowo Subianto yang diusung oleh partainya, Partai Gerindra, tapi belum secara resmi dideklarasikan. Skenario awal, Prabowo juga didukung PKB yang bergabung dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya.

Ada lagi Koalisi Indonesia Bersatu besutan Partai Golkar, PAN, dan PPP. Calon yang sempat diusulkan ialah Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto. Namun, koalisi ini terkesan paling gamang untuk terus menjalin kekuatan. Mereka masih rajin bermanuver, termasuk sempat menginisiasi terbentuknya ‘koalisi besar’ yang belakangan ambyar setelah PDIP memutuskan mengusung Gubernur Jawa Tengah tersebut.

Dengan pencalonan Ganjar, dua kandidat hampir pasti didapat. Kontestan tentu saja masih mungkin bertambah, tergantung pada dinamika politik yang juga masih sangat dinamis.

Kita tak perlu terlalu mempermasalahkan jumlah capres. Akan lebik baik, memang, jika pilpres diikuti lebih dari dua pasangan karena akan mereduksi tensi polarisasi. Namun, kalau akhirnya pilpres hanya menyodorkan dua pasangan pun, tak soal. Yang paling penting ialah bagaimana memastikan kontestasi berkualitas.

Itulah tugas kita semua sejak sekarang. Pilpres akan berkualitas jika capres, partai pengusung, penyelenggara, pemerintah, dan tentu saja masyarakat cerdas. Bagi elite, kecerdasan capres dan partai pengusung bisa diwujudkan dengan komitmen untuk bersaing secara sehat.

Menghindari kampanye hitam ialah salah satu bentuk kecerdasan itu.

Mengubur dalam-dalam ujaran kebencian dan hoaks lalu mengedepankan semangat persatuan ialah bentuk lain dari cara berkompetisi yang sehat. Kita yakin para elite paham hal itu. Tinggal bagaimana mereka tidak lagi menyembunyikan pemahaman itu di balik terlalu tingginya ambisi untuk berkuasa.

Bagi penyelenggara, pilpres akan bermutu jika mereka profesional, penuh integritas, dan adil. Pun buat pemerintah yang semestinya berdiri di tengah, tidak condong, apalagi terang-terangan berpihak dan membantu pihak tertentu.

Peran rakyat juga sangat menentukan. Pilres akan membuahkan hasil gemilang jika rakyat berpikir cemerlang. Memilih presiden berdasarkan rekam jejak calon, bukan atas dasar kebencian dan sentimen pribadi, ialah cara berpikir yang cemerlang itu.

Kita boleh bersyukur bisa leluasa mencermati rekam jejak para capres karena mereka sudah dicalonkan jauh-jauh hari. Saatnya kita menelanjangi kinerja mereka, komitmen mereka, kapasitas dan kualitas mereka dalam memimpin rakyat, menyejahterakan rakyat.

Rekam jejak ialah tolak ukur paling sahih untuk menilai capres. Jangan menilai calon berdasarkan persepsi karena persepsi sangat subjektif, tergantung pada siapa yang memersepsikan. Ada yang distigma intoleran. Padahal, kenyataannya sangat toleran. Ada yang dipersepsikan sangat dekat rakyat. Padahal, realitasnya tidak demikian.

Memilih karena persepsi jelas berbahaya. Kini kita punya banyak waktu untuk menghindari hal itu. Kita punya lebih banyak waktu untuk menimang capres sebelum meminangnya nanti.

 



Berita Lainnya