Akhiri Persekusi

15/4/2023 05:00
Akhiri Persekusi
Ilustrasi MI(MI/Duta)

TINDAKAN persekusi lagi-lagi kembali terjadi. Entah apa alasannya, dua perempuan berinisial WDP dan L yang dituduh bekerja sebagai pemandu karaoke di sebuah kafe di wilayah Pasir Putih, Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, didatangi ratusan warga, Sabtu (8/4). Tanpa ada basa-basi, kedua perempuan malang itu kemudian diarak, ditelanjangi, dan diceburkan ke laut. Aksi persekusi itu sempat direkam masyarakat dan viral di media sosial. Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang Indira Suryani, akibat tindakan tersebut, korban mengalami trauma.

Sudah banyak kasus semacam itu terjadi di negeri yang katanya menjunjung nilai kemanusiaan ini. Kita mungkin masih ingat kasus persekusi yang dilakukan masyarakat di Cikupa, Tangerang, pada 2017 silam terhadap sepasang muda-mudi yang dituding telah berbuat mesum. Meski tidak terbukti, keduanya tetap ditelanjangi, dipukuli, dan diarak hingga hampir 1 jam lamanya. Para penganiaya dengan bangganya juga merekam proses tersebut dan mengunggahnya ke media sosial. Ironisnya, salah satu provokator aksi itu ialah ketua RT/RW setempat.

Aksi massa tersebut jelas merupakan tindakan biadab. Begitu pula yang terjadi di Sumatra Barat. Mereka tidak punya hak atas dalil apa pun ‘menghukum’ orang lantaran pilihan pekerjaannya. Kalaupun betul bekerja sebagai pemandu karaoke, mereka tidak melanggar hukum dan tidak berhak diadili. Lagi pula, tidak ada aturan yang melarang orang bekerja sebagai pemandu lagu. Tindakan persekusi semacam itu menunjukkan praktik misoginis (membenci perempuan) berdasarkan pekerjaannya.

Oleh karena itu, kami mendesak aparat kepolisian sebagai penegak hukum segera mengusut tuntas kasus ini dan menyeret para pelakunya ke pengadilan. Aturannya jelas, tindakan persekusi, mempermalukan atau merendahkan martabat atas alasan diskriminasi dan/atau seksual dalam segala bentuknya dikategorikan sebagai penyiksaan seksual, sebagaimana diatur Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kiranya juga perlu memberikan perlindungan bagi korban, saksi, dan keluarganya, terutama dalam pemulihan psikis korban.

Terlepas dari insiden yang terjadi di Sumbar dan Tangerang, tindakan main hakim sendiri, apa pun motif dan tujuannya, sejatinya tidak boleh dibiarkan. Tidak boleh ada individu ataupun kelompok memersekusi orang lain, bahkan terhadap maling sandal sekalipun. Indonesia adalah negara hukum dan semua pihak harus mematuhinya, tanpa kecuali. Seluruh tindakan keji itu memang kini sudah ditangani kepolisian, tetapi ‘cacat’ yang sedang terjadi di masyarakat ini tetap butuh perhatian kita bersama. Harus dicari akar masalahnya, mengapa masyarakat gampang berperilaku primitif semacam itu.

Ini tentunya bukan semata tugas aparat kepolisian. Selama masih ada pihak-pihak yang meyakini dapat seenaknya menjungkirkan aturan, penegakan hukum tidak akan memulihkan pandangan keliru tersebut. Para pelaku persekusi tetap merasa menjadi pahlawan bagi warga atau kelompok mereka. Oleh karena itu, tugas untuk mengikis perilaku main hakim sendiri ini juga harus melibatkan para tokoh agama, pemuka adat, maupun politisi. Sebagai orang yang dihormati dan juga punya banyak pengikut, mereka harus menjadi teladan, bukan malah ikut jadi provokator. Kita mengharapkan seluruh pihak belajar dari kasus ini untuk tidak gampang menggunakan cara-cara kekerasan, dan lebih mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan. Setop persekusi atas dalih apa pun!



Berita Lainnya