Pepesan Kosong Transaksi Janggal

13/4/2023 05:00
Pepesan Kosong Transaksi Janggal
Ilustrasi MI(MI/Duta)

BUKANNYA kian terang benderang, persoalan transaksi mencurigakan Rp349 triliun di Kementerian Keuangan justru semakin buram. Penanganan dan penyelesaian perkara yang sempat menghebohkan rakyat itu malah antiklimaks, tidak jelas juntrungannya.

Ketika Menko Polhukam Mahfud MD mengungkapkan adanya transaksi janggal ratusan triliun rupiah di lingkungan Kemenkeu pada 8 Maret lalu, publik terkaget-kaget. Saat itu, Mahfud menyebut nilainya Rp300 triliun. Masyarakat marah, geram, terlebih karena ruang publik sedang disesaki berita banyaknya pejabat Kemenkeu yang berharta tak wajar.

Di lain sisi, masyarakat juga senang, girang, karena ada menteri yang berani membeberkan transaksi mencurigakan tersebut. Ada harapan begitu kuat agar hal itu ditindaklanjuti dengan langkah hukum yang tegas untuk menindak pihak-pihak yang terlibat.

Akan tetapi, harapan itu nyatanya salah alamat. Yang terjadi, kasus transaksi mencurigakan di Kemenkeu justru menjadi ajang silang pendapat antarpejabat. Mahfud di satu pihak berhadapan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani di pihak yang lain.

Mahfud berkukuh bahwa ada penyimpangan serius dalam transaksi tersebut. Meski kemudian menegaskan bahwa itu bukan korupsi, melainkan tindak pidana pencucian uang yang terjadi, tetap saja ada dugaan kelancungan hebat di sana.

Dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR pada 29 Maret, Mahfud bahkan menyebut apa yang disampaikan Sri Mulyani sebelumnya di Komisi XI jauh dari fakta. Sri Mulyani menjelaskan, dari Rp349 triliun transaksi yang dilaporkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak 2009 hingga 2023, hanya Rp3,3 triliun yang benar-benar berhubungan dengan pegawai Kemenkeu. Itu pun masih perlu pendalaman karena transaksi termasuk penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga, jual beli aset, dan jual beli rumah.

Begitulah, dua pejabat beda pendapat. Celakanya, keduanya berada di bawah payung yang sama, sama-sama di Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Mahfud sebagai Menko Polhukam menjabat ketua dan Sri Mulyani sebagai Menkeu menjadi anggota di komite itu.

Celakanya lagi, perbedaan pendapat itu berangkat dari data yang sama, data dari PPATK. Itu pula yang diakui Mahfud dan Sri Mulyani ketika dipertemukan di Komisi III dua hari lalu. Yang berbeda cara membacanya, metode mengklasifikasinya, sehingga apa yang disajikan ke publik juga berbeda.

Beda membaca data adalah hal yang normal. Yang tak normal ialah ketika perbedaan itu tak lebih dulu diselesaikan secara internal, tapi langsung diumbar ke khalayak. Bukankah Mahfud bisa sangat gampang berkoordinasi dengan Sri Mulyani sebelum mengumbar adanya dugaan transaksi janggal? Kenapa dia langsung membeberkan data transaksi yang ternyata tak lebih dari pepesan kosong itu? Kita khawatir kecurigaan anggota dewan bahwa Mahfud punya motif politik benar adanya.

Seorang pejabat negara, terlebih sekelas menteri, pantang asal berucap karena setiap ucapan yang keluar dari mulutnya akan selalu berdampak. Pejabat mesti berhati-hati dalam berbicara apalagi jika menyangkut masalah yang sangat sensitif.

Pejabat tidak boleh berlaku semaunya, tak bisa ngomong duluan urusan belakangan. Sembarangan bicara dapat menggerus kepercayaan rakyat, dan itulah yang terjadi dalam kasus transaksi mencurigakan ini. Kredibilitas Kemenkeu yang telanjur dicap buruk akibat perilaku buruk sejumlah pejabatnya menjadi semakin buruk. Butuh waktu lama, perlu usaha ekstra, untuk mengembalikan kepercayaan itu.

Harus kita katakan, rakyat kecewa dengan babak-babak akhir drama transaksi mencurigakan yang digaungkan Mahfud. Wajar pula banyak yang menolak dan tak lagi berharap dengan langkah Mahfud membentuk satuan tugas untuk mengusut transaksi janggal Rp349 triliun itu.



Berita Lainnya