Terbitkan Perppu Perampasan Aset

12/4/2023 05:00
Terbitkan Perppu Perampasan Aset
Ilustrasi MI(MI/Seno)

DI antara banyak halangan dalam pemberantasan korupsi di negara ini, ironi terbesar kerap pada pihak penyusun undang-undang sendiri, baik pemerintah maupun DPR. Lamanya harmonisasi hingga pembahasan RUU telah ikut memasung upaya penegakan hukum yang maksimal.

Inilah yang terjadi pada RUU Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana. Pertama diusulkan pada 2008, tetapi hingga tahun lalu tidak juga masuk Prolegnas Prioritas DPR.

Tahun ini tidak tampak pula kemajuan berarti, selain Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan harmonisasi draf final baru dilakukan. Untuk selanjutnya, draf tersebut akan kembali diserahkan ke DPR.

Kita tentu sepakat jika setiap produk UU harus dibuat dengan cermat dan teliti agar tidak mudah diajukan ke judicial review dan menjadi kesia-siaan. Namun, berlarutnya RUU Perampasan Aset membuat celah keadilan yang amat besar.

RUU Perampasan Aset merupakan senjata yang, terutama, amat diharapkan untuk pengembalian aset negara dan aset-aset lainnya yang merupakan hasil kejahatan. Selama ini, hal tersebut masih sangat sulit meski kita telah memiliki UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Dengan UU yang ada itu, jenis tindak pidana asal harus dibuktikan terlebih dulu sehingga negara dapat mengambil aset terpidana. Padahal, sudah banyak kasus yang menunjukkan hal tersebut sulit dilakukan akibat pelaku-pelaku buron, meninggal dunia, dan sebab lainnya, seperti pelaku tidak dapat dihadirkan di persidangan.

Kasus dugaan suap dan gratifikasi yang dilakukan belasan tahun oleh mantan pegawai Ditjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo (RAT), pun menjadi bukti tambahan kian urgennya RUU Perampasan Aset. RAT diduga memiliki sistem yang canggih yang melibatkan banyak pihak dan perusahaan-perusahaan bentukannya sehingga dapat memainkan nilai pajak yang semestinya diterima negara.

Kasus RAT pun mengungkap dugaan korupsi dan dugaan TPPU lainnya di berbagai jajaran Kementerian Keuangan yang nilainya mencapai lebih dari Rp300 triliun. Meski dugaan ini masih harus dibuktikan, besarnya dugaan penyelewengan menunjukkan urgensi untuk mencegah kejahatan serupa terus subur.

Dengan RUU Perampasan Aset, penegak hukum tidak perlu repot untuk membuktikan pelaku melakukan tindak pidana korupsi. Sebaliknya, pelakulah yang harus dapat membuktikan asal kekayaannya tersebut. Dengan konsep illicit enrichment dan unexplained wealth yang terdapat dalam RUU itu, aset yang tidak dapat dibuktikan asalnya dan dicurigai merupakan hasil kejahatan, dapat disita negara.

Kegentingan itulah yang membuat lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Perampasan Aset, sudah layak. Karena itu, kita mendesak Presiden Jokowi tidak lagi hanya mendorong DPR untuk mengesahkan UU. Presiden dapat mengambil peran menerbitkan perppu demi menyelamatkan kerugian negara.

Tidak hanya itu, dengan menerbitkan Perppu Perampasan Aset, sesungguhnya Presiden telah mendorong tegaknya keadilan sesuai paradigma pidana modern. Dalam prinsip keadilan tersebut, segala hasil tindak kejahatan semestinya tidak lagi boleh dinikmati pelaku ataupun keluarganya.

Sebab selama hal itu berlangsung, efek jera tidak akan pernah ada. Korupsi dan pencucian uang akan terus subur karena ‘hitung-hitungan’ hukum akan tetap menguntungkan pelaku.

Di sisi lain, korban kejahatan, baik negara maupun perorangan, tidak mendapat keadilan rehabilitasi (pemulihan) karena aset yang tidak juga kembali. Sebab itulah Perppu Perampasan Aset sesungguhnya tidak hanya akan menolong dalam penegakan hukum di kasus-kasus yang ada sekarang ini, tetapi mencegah semakin suburnya kejahatan sejenis.



Berita Lainnya