Pelajaran Berharga GKI Yasmin

10/4/2023 05:00
Pelajaran Berharga GKI Yasmin
Ilustrasi MI(MI/Duta)

KEBEBASAN beribadah ialah hak asasi manusia tertinggi karena menyangkut hubungan manusia dengan Sang Khalik. Tak ada satu pun yang berhak menghalangi hubungan vertikal tersebut, di mana dan kapan pun hubungan tersebut diselenggarakan sepanjang tidak menganggu aktivitas kemasyarakatan lainnya. Hubungan vertikal yang baik akan berdampak pada hubungan horizontal yang baik.

Tak ada alasan apabila ada sekelompok masyarakat, terlebih dalam negara yang memang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.  UUD 1945 Pasal 28E ayat satu menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Hak kebebasan beragama juga dijamin dalam Pasal 29 ayat dua yang menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Peresmian Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Kota Bogor, Jawa Barat, bertepatan dengan perayaan Paskah, Minggu (9/4) menarik perhatian. Peresmian ditandai pemukulan gong dan penandatanganan prasasti oleh Menko Polhukam Mahfud MD didampingi Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Wali Kota Bogor Bima Arya. Peresmian itu mengakhiri  konflik keberadaan GKI Yasmin selama enam belas tahun. Konflik yang menyita energi, menguras air mata, dan pikiran kita sebagai anak bangsa, merobek tenun kebangsaan sebagai bangsa yang majemuk.

Konflik GKI Yasmin hingga berujung di Mahkamah Agung tak membuat masalah tersebut selesai. Bahkan, Ombudsman RI turun tangan mengeluarkan rekomendasi pada 8 Juli 2011 agar Wali Kota Bogor mencabut keputusan Wali Kota Bogor yang mencabut izin mendirikan bangunan GKI Yasmin. Namun, Wali Kota Bogor saat itu tak menggubrisnya. Barulah pada 2021 Wali Kota Bogor Bima Arya mengambil inisiatif menghibahkan lahan seluas 1.668 meter persegi di Jalan KH Abdullah bin Nuh, Bogor Barat,  untuk dijadikan lokasi pembangunan gereja GKI Yasmin.

Penantian panjang jemaat GKI Yasmin kini berbuah manis dengan memiliki rumah ibadah. Namun, peresmian GKI Yasmin bukan akhir dari segalanya. Peresmian itu jangan sekadar seremoni. Yang paling penting ialah jaminan negara terhadap kebebasan beribadah di negeri terpenuhi dengan baik. Prinsip equality before the law harus ditegakkan sebagai komitmen negara yang berlandaskan hukum (rechtsstaat). Konsekuensinya ketika kita bicara asas kesamaan hukum tersebut, maka tidak relevan lagi berbicara kelompok mayoritas atau minoritas di republik yang berfalsafah Pancasila ini.

Ujian keberagaman masih terus berlangsung. Belakangan ini masih terjadi pembubaran ibadah, seperti jemaat Gereja Kristen Kemah Daud di Lampung pada Februari lalu dan pembubaran ibadah di Gereja Kristen Protestan Simalungun di Purwakarta, Jawa Barat, pada Maret lalu. Mirisnya lagi pembubaran tersebut melibatkan langsung aparatur pemerintah setempat yang seharusnya mengayomi peribadatan warga mereka.

Salah satu yang menjadi dasar konflik di masyarakat  ialah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 atau SKB 2 menteri tentang syarat pendirian rumah ibadah. Salah satu aturan yang disorot ialah pendirian rumah ibadah harus disetujui 90 jemaah dan 60 orang nonjemaah. Pemerintah seharusnya mengevaluasi kembali SKB 2 menteri tersebut karena seringkali memicu konflik sehingga mengganggu kerukunan antarumat beragama. Pemerintah harus merumuskan kembali formula yang tepat dan bijak dalam mengelola pendirian rumah ibadah. Indonesia akan kukuh  jika dibangun dengan semangat keberagamaan, cinta kasih, dan saling menguatkan sesama warganya.

 



Berita Lainnya