Membuang Sampah Toleransi

23/2/2023 05:00
Membuang Sampah Toleransi
Ilustrasi MI(MI/Duta)

KONSTITUSI negeri ini dengan jelas dan tegas menggariskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Negara pun menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agama dan keperyaannya itu.

Kata-kata dalam konstitusi tersebut terdengar indah, manis, juga menyejukkan. Akan tetapi, semua itu hanya kendengarannya, cuma rasanya, tapi tidak pada realitasnya. Kenyataannya berbanding terbalik bagi sebagian anak bangsa. Bukannya kebebasan yang didapat, tak jarang kelompok minoritas justru menghadapi pengekangan untuk menjalankan perintah Tuhannya.

Pelarangan pembangunan tempat ibadah sudah terjadi sejak dulu, dan ironisnya belum juga mendapatkan solusi hingga kini. Di beberapa daerah, kelompok minoritas masih dipersulit untuk mendirikan rumah tuhan. Begitu juga, gangguan hingga aksi pembubaran peribadatan terus saja terulang.

Kasus terkini terjadi di Bandar Lampung ketika beberapa warga melakukan persekusi terhadap jemaat Gereja Kristen Kemah Daud di Rajabasa. Dalam aksi yang viral di media sosial itu, mereka membubarkan peribadatan dengan alasan gereja yang digunakan belum mendapatkan izin.

Mengganggu, mengintimidasi, melarang, atau membubarkan orang lain beribadah ialah wujud nyata dari intolerasi yang tak bisa ditoleransi. Apa pun dalihnya, bagaimanapun caranya, menghalangi umat lain menjalankan perintah agamanya ialah perbuatan yang bertentangan dengan ajaran semua agama yang mengajarkan toleransi. Siapa saja yang melakukannya layak kita sebut sebagai penjahat toleransi.

Kebebasan beragama ialah non-derogable rights. Ia bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apa pun. Berkeyakinan ialah hak dasar manusia yang pantang diintervensi oleh siapa saja. Ia harus dihormati, juga mesti dilindungi.

Karena itulah, sekali lagi, kita mengecam aksi tak patut yang dilakukan di Bandar Lampung. Lagi-lagi kita perlu tegaskan bahwa aksi-aksi tak terpuji semacam itu merupakan sampah toleransi. Ia tak cuma pengkhianatan atas hak dasar umat, tapi juga merusak kerukunan yang merupakan kemestian di tengah keberagaman.

Bagi pemerintah sebagai representasi negara, kasus di Bandar Lampung ialah bukti tak terbantahkan bahwa soal toleransi belum selesai. Betul bahwa hanya sedikit orang yang memamerkan intoleransi di sana. Benar bahwa jauh lebih banyak umat dari mayoritas yang toleran terhadap minoritas. Namun, berapa pun jumlahnya, kelompok intoleran pantang dibiarkan unjuk penyimpangan.

Pada konteks itulah kita mendesak negara lebih tegas bersikap. Kasus di Bandar Lampung terlalu murah jika cuma disesalkan. Ia butuh tindakan lebih konkret agar tak terulang atau diulang di daerah lain.

Boleh-boleh saja Menteri Agama Yaqut Cholis Qoumas mengingatkan bahwa semua pihak bertanggung jawab pada terciptanya kerukunan. Sah-sah pula dia mengimbau semua yang berkepentingan mengedepankan musyawarah jika ada masalah. Pun wajar ketika pada 17 Januari lalu Presiden Joko Widodo menyampaikan kepada kepala daerah bahwa semua pemeluk agama punya hak yang sama dalam kebebasan beribadah.

Akan tetapi, semua tidaklah cukup. Perlu tindakan nyata untuk menjalankan amanah konstitusi. Mempermudah izin pembangunan rumah ibadah, misalnya, sudah saatnya dilakukan.

Peran pemerintah daerah harus pula ditingkatkan. Memfasilitasi tempat ibadah bagi umat yang belum bisa mendirikan rumah ibadah karena terkendala persyaratan ialah kewajiban mereka. Jangan malah sebaliknya, larut dalam kehendak para perusak toleransi.

 



Berita Lainnya