Kartu Merah bagi Pendompleng

21/2/2023 05:00
Kartu Merah bagi Pendompleng
(MI/Duta)

EUFORIA transformasi sepak bola nasional mencuat seusai gelaran Kongres Luar Biasa (KLB) Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Hasil KLB seakan menjadi oase di tengah keringnya prestasi dan karut-marutnya persepakbolaan Indonesia berpuluh tahun terakhir.

Pasalnya, tidak hanya satu menteri. Selain Erick Thohir yang duduk di pucuk pimpinan PSSI, Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali bertengger sebagai wakil ketua umum. Pertama dalam sejarah federasi, dua menteri duduk dalam kepengurusan.

Erick terpilih dengan kemenangan mutlak melawan Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Nyalla Mattalitti, sedangkan jejak keterpilihan Amali bisa dibilang tidak wajar. Sempat terpilih, kemudian batal karena pemilihan harus diulang. Lalu, di pemilihan kedua, Amali tidak terpilih, tetapi ketiban durian runtuh karena Wakil Ketua Umum terpilih Yunus Nusi mundur.

Namun, ternyata Amali yang mencoba membuktikan totalitasnya untuk pembenahan sepak bola nasional. Dirinya langsung menghadap Presiden Joko Widodo dan meminta untuk mundur dari jabatan menteri demi fokus pada PSSI.

Bagaimana dengan Erick? Tidak ada tanda-tanda untuk mendedikasikan 100% pengabdiannya bagi sepak bola Tanah Air. Rupanya dari kacamata Erick, mengurus Kementerian BUMN seakan lebih gampang jika dibandingkan dengan Kemenpora sehingga tidak perlu mundur untuk urus PSSI.

Padahal, mestinya Erick yang lebih perlu berkonsentrasi. Janji dan program Erick yang ditunggu pencinta sepak bola nasional, bukan janji Amali. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan totalitas Erick karena BUMN dan PSSI tentu sama-sama menuntut 100% dedikasi Erick.

Apalagi urusan persepakbolaan bangsa ini sudah terlalu lama terpuruk. Tidak pernah ada prestasi mentereng yang dicatatkan tim nasional sepak bola dalam tiga dekade terakhir. Jangankan menjulang di kancah dunia, level Asia Tenggara saja sepak bola Indonesia memble.

Sepak bola nasional lebih banyak diwarnai persoalan akibat tidak pernah tuntas dibenahi. Kartel mafia bola yang seenaknya mengatur pertandingan, juga isu pemain titipan di timnas, telah lama menjadi kanker yang menggerogoti persepakbolaan nasional.

Belum lagi keonaran dan kekerasan antarsuporter klub yang tak kunjung hilang dari iklim sepak bola. Terakhir, 135 Aremania meninggal karena ketidakbecusan pengelolaan pertandingan yang hingga saat ini masih menyisakan luka mendalam tanpa pembenahan struktural yang signifikan.

Sepak bola berbeda dengan olahraga lain. Sekering apa pun prestasi timnas Indonesia, daya tariknya tidak pernah luntur. Nielsen menyebutkan minat publik Indonesia akan tontonan sepak bola mencapai 69%, terutama saat timnas berlaga. Artinya, ketika dikonversi menjadi jumlah penduduk, pencinta bola ditaksir mencapai 188,7 juta orang.

Data itu menjadi gambaran betapa besarnya publik yang berharap kepada Erick untuk melakukan transformasi sepak bola nasional. Akan tetapi, data itu pula yang bisa menunjukkan betapa besarnya panggung yang kini ditapaki Erick dalam iklim sepak bola Indonesia.

Panggung besar sepak bola jangan lagi-lagi dijadikan alat untuk kepentingan politik, apalagi ini menjelang Pilpres 2024. Biarkanlah pengalaman pahit ketua umum yang lalu menjadikan PSSI batu loncatan politik menjadi pelajaran untuk tidak lagi diulangi.

Terlalu mahal harga yang harus dibayar jika tujuan menjadi Ketua Umum PSSI hanya untuk kepentingan politik. Pasalnya, pencinta sepak bola berharap banyak pada Erick saat ini melakukan reformasi demi pembenahan atas karut-marutnya persepakbolaan nasional.

Pencinta sepak bola Tanah Air sangat berharap Erick menghadirkan prestasi mentereng, bukan sekadar mendompleng panggung besar sepak bola. Mereka yang nekat menjadi pendompleng mesti diganjar kartu merah untuk segera keluar dari gelanggang sepak bola Tanah Air.



Berita Lainnya